Oleh : Dr. Wirman L Tobing MA* dan M. Mas’ud Silalahi, Budi Putra Utama Simatupang**
SIAPA yang tidak mengenal “Tuan Guru Batak” atau yang disingkat dengan “TGB” ini di Sumatera Utara (?). Yang pasti, masyarakat terkhusus kaum elit Sumut sudah familiar dengannya. Bahkan dari informasi media kita lihat (ketik Tuan Guru Batak di internet), tampak TGB merupakan tokoh “agama” sudah menasional yang relatif banyak dikunjungi para tokoh.
Mulai dari tingkat tokoh Nasional bahkan Tokoh Mancanegara, Presiden RI, Menteri, Gubsu, Pangdam, Kapoldasu, Kakanwil Kemenagsu, tokoh linatas Agama, Ephorus, Pendeta dan elit-elit daerah sampai kelapisan paling bawah telah silaturrahim dan menyambanginya.
“Tuan Guru Batak” (TGB) juga sangat akrap dengan kaum akedemis, aktifis dan praktisi di Medan. Selain memiliki ribuan jemaah, umumnya banyak kalangan sudah cukup mengenal TGB bahkan mereka sudah berkunjung ke majelisnya yakni pondok persulukan serambi babussalam Simalungun dengan berbagai kepentingan.
Namun akhir-akhir ini, nama “Tuan Guru Batak” yang menjadi fenomenal ini menjadi perbincangan dikalangan orang batak sendiri terkhusus yang ada dirantau orang atau diluar Sumut. Banyak orang-orang bertanya, siapa TGB ini dan kenapa disebut “Tuan Guru Batak.” Bahkan dalam pantauan kami, setelah mendapat kiriman dari teman-teman tentang adanya “polemik” tentang TGB di berbagai jejaring group medsos komunitas “Sejarah Batak dan Tapanuli.”
Maka kami sebagai “pengagum TGB” yang juga akedemis dan peneliti terpanggil untuk menulis siapa TGB dan sekaligus dengan maksud memberikan penjelasan sekaligus. Meskipun tulisan ini tidak selengkap penelitian lainnya. Sebelum terlalu jauh, saya terlebih dahulu meminta ijin kepada TGB atas inisiatif kami menulis ini. Maklum saja, saya termasuk yang mengagumi TGB dan penikmat “dakwah sufistik” serta kata-kata bijaknya.
Siapakah TGB dan Kenapa di-gelar dengan Tuan Guru Batak (TGB)
Ada banyak rujukan, referensi dan literatur ilmiah untuk mengetahui bioghrapi Tuan Guru Batak ini. Sebab tulisan dan penelitian tentang kiprah Tuan Guru Batak ini sudah ditulis dan diteliti dari tingkat skripsi sampai disertasi doktoral. Atau jika dicari di-internet “Tuan Guru Batak” maka akan banyak muncul informasi tentang TGB.
Jonatan Nainggolan dalam “Tagar.id” yang berjudul, “Tuan Guru Batak dari Simalungun : Islam itu damai”, menulis biografi singkat TGB ini secara singkat. (Lihat, Tagar.id, 17 November 2019). Di-media itu disebutkan Tuan Guru Batak (TGB) sosok Ulama dari suku batak yang berasal dari Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Nama lengkapnya, Tuan Guru Batak (TGB) Syekh Dr Ahmad Sabban elRahmaniy Rajagukguk MA, lahir pada 7 Juli 1979. Ayahnya bernama Syekh Abdurrahman Rajagukguk dan Ibunya bernama Herlina Togatorob.
Dalam silsilah tarombo nasab kebatakan marga Rajagukguk, TGB ini merupakan silsilah ke (13) dari keturunan Aritonang. Yakni (1) Tuan Aritonang, (2) Tuan Rajagukguk, (3) Tuan Pingganpasu, (4) Tuan Naihapatian, (5) Tuan Gurutinoloan, (6) Tuan Oppusohutoron, (7) Tuan Apparbimbin, (8) Tuan Oppumonang, (9) Tuan Oppuniaji, (10) Musa, (11) Binjamin, (12) Syekh Abdurrahman Rajagukguk, dan ke (13) Tuan Guru Batak (TGB) Syekh Dr Ahmad Sabban elRahmaniy Rajagukguk MA.
TGB menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Simalungun, pada tahun 1992. Sebelum tamat dari MAN Kota Pematangsiantar pada tahun 1998, dia lulus dari MTS Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, pada tahun 1995. Lulus dari situ, Ahmad Sabban Rajahukguk melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. Strata-1 sampai dengan Strara-3, dia lulus dari Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU).
Di tahun 2002 ia memundak sarjana, tiga tahun kemudian, yakni 2005 ia lulus sebagai Master (S-2) dan terakhir menyandang gelar Doktor (S-3) pada tahun 2013. Tak hanya sebagai pendakwah, TGB Dr Ahmad Sabban Rajagukguk kini aktif sebagai narasumber kebangsaan dan pegiat kerukunan. Pernah menjadi Kepala Cabang (Kacab) Bank Mandiri Syariah Petisah 2010, Kacab Langsa Aceh 2011 dan Kacab Binjai 2012.
Sebelum menjadi Tuan Guru, aktif diberbagai organisasi, pemateri dan narasumber pada level lokal dan nasional. Pernah menjadi “Ketua Jam’iyah Batak Muslim JBMI Kota Medan”. Juga pernah aktif penulis buku dan sampai saat ini TGB juga dosen Pascasarjana UINSU.
Kenapa digelar “Tuan Guru Batak atau TGB” (?) Ini pertanyan paling penting untuk dijawab. Di-dalam buku “Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan”, terbitan Prenada Nasional “kerjasama Group Gramedia Nasional” yang ditulis oleh lima (5) doktor muda yakni dosen UIN SU yakni Dr efibrata Madya MSi, Dr Mawardi Siregar MA, Dr Mukhtaruddin Dalimunthe MA, Dr Muhammad Husni Ritonga, Dr Salahuddin Harahap MA dan Dr Irwan Nasution, dengan lengkap dijelaskan pengungkapan gelar “Tuan Guru Batak.”
Istilah “Tuan Guru Batak atau Syekh Bayak” merupakan gelar yang sudah disematkan oleh orang, jemaah dan para tokoh, sejak dari Tuan Guru pertama Syekh Abdurrahman Rajagukguk Qs yang merupakan ayah kandung dari Tuan Guru Batak Syekh Dr H Ahmad Sabban elRahmaniy Rajagukguk MA.
Gelar “Tuan Guru Batak” tidak memilki hubungan struktur tarombo apapun dalam kebatakan. Ini bukan gelar dalam tarobo batak. Tuan Guru Batak merupakan gelar yang disematkan sejak dari ayahnya dikarenakan langkanya seorang pemimpin tarekat atau Ulama yang merupakan Batak Toba bermarga Rajagukguk, sehingga secara spontanitas orang menyebut “Syekh Batak atau Tuan Guru Batak.” Selain, letak georgrafis pondok persulukan di kawasan daerah Batak di Simalungun tepatnya di desa Jawa Tongah Kec Hatonduhan Tanah Jawa dan uniknya berdekatan dengan dua gereja besar yakni GKPI dan HKBP.
Panggilan gelar Tuan Guru Batak ini memasyarakat dan terkenal dengan sendirinya sehubungan dengan kiprah ketokohan TGB sendiri. Tentu kita tidak memiliki hak pregroratif apapun dalam tarobo kebatakan untuk melarang ini, karena ini bukan struktur kebatakan dan ini bukan gelar formal adat batak melainkan panggilan gelar ke-Ulama-aan yang kebetulan suku batak. Dan dalam tradisi adat batak tidak kenal dengan “Tuan Guru batak.”
Adapun gelar Tuan Guru itu sendiri dalam tradisi Islam, sufi atau tarekat di Sumatera Utara secara khusus adalah panggilan terhadap Ulama khas pemimpin pondok persulukan [tarekat]. Istilah ini juga ditemukan di kawasan daerah Melayu, Riau, NTB dan beberapa daerah lainnya, bahkan sampai ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunai. Sebutan ‘Tuan Guru” juga bermakna Ulama atau panggilan kehormatan terhadap pemimpin agama yang sudah memiliki kualifikasi keilmuwan dan pengakuan ditengah masyarakat.
Sepanjang pengetahuan penulis, dalam kunjungan keberbagai pondok pesantren persulukan belum menjumpai pemimpin pondok bersuku batak toba apalagi bermarga Rajagukguk. Bahkan penulis menduga kuat bahwa rasio pesentase batak toba marga Rajagukguk yang beragama Islam sangat kecil. Jadi sangat banyak yang orang heran ketika menemukan ada marga Rajagukguk menjadi tokoh sufi apalagi pemimpin persulukan dan seorang Ulama yang sudah populer di Sumatera Utara.
Gelar “Tuan Guru Batak” semakin menguat dan menjadi terkenal ketika banyak tokoh dan masyarakat melihat gerakan dakwah dan ketokohan Syekh Dr H Ahmad Sabban elRahamniy Rajagukguk ini secara aktif menyuarakan nilai-nilai kerukunan dan kebangsaan. Dalam beberapa pertemuan silaturrahim dan pesan-pesan dakwah yang –penulis— turut hadir menyaksikan langsung tergambar begitu kentara spirit tuan guru ini untuk tidak mendikotomikan antara nilai-nilai keluhuran adat dan nilai-nilai ajaran agama.
Selain memiliki gelar silsilah tarombo kebatakan dari marga Rajagukguk. Tentu paling menakjubkan, silsilah keruhanian dan keguruan, Tuan Guru Batak (TGB) ini bersambung sampai kepada Rasulullah Shollallahu ‘alaihi Wasallam. Secara lengkap silsilah dapat disampaikan sebagai berikut :
(1) Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi Wasallam, (2) Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq rodhiyallahu ‘anhu, (3) Sayyidina Salman al-Faarisi rodhiyallahu ‘anhu, (4) Sayyidina Qasim bin Muhammad rodhiyallahu ‘anhu, (5) Imam Ja’far as-Siddiq rodhiyallahu ‘anhu, (6) Syekh Abu Yazid al-Bustami qoddasa sirruhu q.s, (7) Syekh Abu Hasan ‘Ali bin Ja’far al-Kharqaani q.s, (8) Syekh Abu ‘Ali al-Farmadi q.s, (9) Syekh Abu Ya’akub Yusuf Al-Hamdani q.s, (10) Syekh Abdul Khaliq al-Fajduwani bin al-Imam Abdul Jamil q.s, (11) Syekh ‘Ariff ar-Riyukuri q.s, (12) Syekh Mahmud al-Anjiri al-Faghnawi q.s, (13) Syekh ‘Ali ar-Rameetuni q.s, (14) Syekh Muhammad Baba as-Samasi q.s, (15) Sayyid Amir Kulal bin Saiyid Hamzah q.s, (16) Imam Thoriqoh Syekh Muhammad Bahauddin al-Bukhori an-Naqsyabandi q.s, (17) Syekh Muhammad Bukhari q.s, (18) Maulana Ya’kub Jarki Hisori q.s, (19) Syekh ‘Abidullah Samarqandi (‘Ubaidullah) q.s, (20) Maulana Muhammad Zahid q.s, (21) Maulana Muhammad Darwis q.s, (22) Maulana Khawajaki q.s, (23) Syekh Muhammad Baqi q.s, (24) Syekh Ahmad Faaruuqi Sir Hindi q.s, (25) Al-Imam Muhammad Maqsum q.s, (26) Syekh Saifuddin q.s, (27)Syekh Muhammad Nur Bidwani q.s, (28) Syekh Syamsuddin q.s, (29) Syekh Abdullah Hindi q.s, (30) Maulana Kholid Dhiyaa-ul Haq q.s, (31) Syekh ‘Abdullah Afandi q.s, (32) Syekh Sulaiman Qorimiq.s, (33) Syekh Sulaiman Zuhdi q.s, (34) Syeikhul Masyayikh ‘Abdul Wahab Jawi Rokan al-Kholidi Naqsyabandi q.s, (35) Syekh Abdul Manan Siregar q.s, (36) Syekh Haji Mu’im Abdul Wahab q.s, (37) Syekh Abdul Rahman Rajagukguk q.s, (38) Syekh H. Dr. Ahmad Sabban al-Rajagukguk, M.A, bin Syekh Abdurrahman Rajagukguk [Tuan Guru Batak].
Tuan Guru Batak (TGB) Merupakan Tokoh Kerukunan dari Sumatera Utara
Tiga (3) Presiden RI yakni Presiden Jokowi, Presiden SBY (khusus Presiden SBY langsung berkunjung ke Pondok TGB di Simalungun) dan Presiden Megawati. Perjumpaan TGB dengan ke (3) Presiden ini, TGB selalu menyuarakan pesan-pesan kerukunan dan kebangsaan. Bahwa tidak boleh ada narasi agama yang berbenturan dengan idiologi bangsa.
Ketokohan “Tuan Guru Batak (TGB)” bukan hadir tiba-tiba. Tentu ini melalui proses yang panjang sejak dari ayahnya. Meskipun perkembangan dakwahnya pesat dan cepat menasional, tapi kiprah dakwah TGB ini sudah berjalan secara intensif.
TGB memiliki banyak ribuan jemaah dan konsenr dalam menyampaikan dakwah kerukunan dan kebangsaan. Yakni sebuah gerakan menajaga harmoni antar umat beragama. Bahkan TGB, kerap diundang ke berbagai daerah untuk menyampaikan dakwah kerukunan dan penguatan persaudaraan sejati.
Penyamatan Tuan Guru Batak (TGB) sebagai tokoh kerukunan datang dari lisan berbagai tokoh. Selain TGB konsern dalam membangun dakwah hamanity juga TGB kerap menerima silaturrahim tokoh lintas agama. Bahkan peneguhan TGB sebagai tokoh kerukunan juga disampaikan langsung oleh Kementerian Agama Sumatera Utara dan juga sekaligus mencanangkan pondok persulukan TGB sebagai kampung moderasi beragama.
Meminjam tulisan Dr Azhari Akmal Tarigan yang menegaskan. Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan adalah kata kunci dakwah TGB. Kerukunan dan kebangsaan adalah topik yang beliau pilih untuk dikedepankan sekaligus menjadi trade mark beliau.
Jika AA Gym fokus pada manajemen qalbu, lalu Arifian Ilham (alm) pada zikir, Adi Hidayat dan Ustaz Abdul Shamad pada fikih dan hadis sesuai dengan bidang keahliannya, maka TGB pada isu yang sebenarnya kurang sexy dan kerap mengundang salah persepsi. Dengan kata lain, TGB mengisi ruang yang banyak orang atau pendakwah yang tidak mau mengisinya.
Kendati pada awalnya, topik ini dianggap –berat– dan tidak menarik bagi banyak juru dakwah apa lagi umat, isu kerukunan menjadi penting dan tentu saja menarik pada saat diberi sentuhan spiritualitas atau apa yang disebut TGB dengan sentuhan sufistik. Topik-topik kerukunan yang selama ini “garing” sebagaimana pidato para pejabat yang bicara kerukunan dan kebangsaan, menjadi berbeda di tangan TGB.
Tidak semua orang menyadari bahwa Indonesia adalah negeri yang plural dan majemuk baik dari suku, agama ataupun ras. Jika kita berjalan mengelilingi Indonesia dari Sabang sampai Merauke atau dari Merauke dari Sabang, kita akan menemukan keragaman itu. Oleh sebab itulah Indonesia negeri yang sangat kaya.
Dalam konteks inilah, –masih Dr Azhari Akmal Tarigan– TGB sangat menyadari realitas keberagamaan Indonesia yang plural. Tentu saja, sikap beliau yang lebih inklusif dan toleran bukan sesuatu yang mengherankan. Sebagai alumni IAIN [UIN] Sumatera Utara yang berprrstasi –coumlaude– baik itu di S1, S2, dan S3, beliau tentu sangat “alim” tentang studi Islam. Sadar betul mana yang absolut, mutlak, qath’i dan mana yang relatif dan mana pula yang zhanni. Mana wilayah agama yang “sami’na wa atha’na” dan mana yang membuka ruang untuk penafsiran yang beragam. Sampai di sini, TGB sadar betul, dalam konteks dakwah kerukunan, beliau sangat paham mana yang bisa disentuh dan dielaborasi dan mana yang tidak.
Berangkat dari kesadaran TGB yang dibentuk oleh pendidikan agama yang secara formal semuanya selesai dengan baik, beliau menyuarakan pesan-pesan kerukunan. Beliau menempatkan perbedaan agama bukan untuk saling menegasikan dan menafikan. Warnawarni itu sejatinya menambah keindahan sepanjang tetap dijaga keharmonisannya. Tidaklah mengherankan, dakwah TGB apakah dengan menggunakan media sosial “digital” terlebih lagi dakwah oralnya, pesan pesan kerukunan, persatuan, kedamaian bersama, menjadi isu sentral yang dikembangkannya. (Lihat, Azhari Akmal Tarigan dalam buku Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan Tuan Guru Batak, Prenada, 2019)
Semangat TGB untuk menyampaikan pesan-pesan kerukunan tidam lepas dari perjalanan spiritual TGB sendiri ketika mengalami transformasi spiritual menjadi Tuan Guru. Pengalaman spiritual itu dituangkan dalam bukunya ‘Titian Para Sufi dan Ahli Makrifah’. Dan terakhir dalam bukunya berjudul ‘Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan’, TGB menyampaikan keberagaman tidak boleh terusik, karena agama sepakat membangun kerukunan. Peluncuran buku tersebut digelar di Hotel JW Marriot, Jalan Putri Hijau, Medan, Sumatera Utara, Senin 23 September 2019 silam. Peluncuran buku tersebut dihadiri Gubernur, Kapolda, Pangdam I BB dan sejumlah tokoh nasional, tokoh daerah dan tokoh lintas agama.
Tuan guru batak dalam menjalin kerukunan antar umat beragama memiliki prinsip, ‘agama terjamin, tauhid terjaga tapi silaturrahim dan kerukunan terjalin’. Dalam kiprah dakwah yang dilakoninya dan relasi sosial yang dikembangkannya sepertinya Tuan guru ini memiliki idealisme dan ‘nice dream’ yang sama dengan para tokoh-tokoh bangsa terdahulu dimana kerukunan dan keutahan bangsa merupakan pilar paling fundamental dan asset paling berharga yang tidak boleh terkoyak karena apapun sampai bumi ini berakhir.
TGB juga sangat menghormati petuah-petuah adat sebagai “poda” atau “uppasa” untuk membangun relasi adat dengan agama itu sendiri sekaligus memperkuat kerukunan. Adat dan agama, merupakan karunia Tuhan yang membuat kita mulia, terhormat dan bermartabat. Seperti “uppasa: yang mengatakan :
“Unang songon manggani-raja. Diparbuat buena ala tarulang bonana. Unang mago adat dibaen agama. Alana ido patandahon hita, pinipporni si raja Batak namarsahala.”
Terakhir, kami ingin menegaskan bahwa Tuan Guru Batak (TGB) adalah asset bangsa, dan terkhusus kebanggaan “bangso batak”. Tentu, kita semua harus bersyukur dan bangga ada Ulama dari “bangso batak” yang konser dan berjuang untuk merawat kerukunan, kemajemukan dan membangun persaudaraan kebangsaan kita.
Wassalam. Horas. Maulate. Salam Pancasila. MMS – PBUS
*Penulis adalah Dosen Pascasarjana UINSU dan Pengurus MUI Sumut
**Mahasiswa Pascasarjana UIN Sumut
- 67 Atlet Taekwondo Asal Binjai Berlaga di Kejuaraan Piala Pangdam I Bukit Barisan – Januari 18, 2025
- Formas Harap Presiden Prabowo Selesaikan Konflik Tanah Sari Rejo Polonia – Januari 17, 2025
- Aktivis Irham Sadani Rambe Sebut “Bang Bahar” sebagai Figur Berprestasi dan Penuh Dedikasi – Januari 17, 2025