Oleh : TGS Prof Dr KH Saidurrahman, M. Ag
Adalah sangat penting untuk melihat kuatnya relasi antara ideologi atau way of life atau disebut juga sebagai worldview yang dianut oleh seseorang atau suatu bangsa dengan bagaimana ia menapaki kehidupannya. Disebut demikian, karena suatu ideologi adalah kumpulan dari prinsip-prinsip fundamental yang dianut dan diyakini oleh suatu bangsa untuk selanjutnya dijadikan dasar, fondasi bagi berdiri dan bertahannya suatu negara bangsa. Ideologi akan menjadi sumber nilai (value), norma, etika, nalar hingga aktualisasi pada berbagai aspek kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam satu bangsa .
Sedemikian pentingnya posisi ideologi terhadap suatu bangsa, hingga dapat dikatakan bahwa eksistensi dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh ideologi yang dianut dan diyakininya, serta bagaimana ideologi itu dapat secara konsisten mendasari seluruh aktivitas pengelolaan dan pembangunan bangsa tersebut. Sebaliknya, kemerosotan atau kemunduran suatu bangsa dapat terlihat pula pada bagaimana kualitas ideologi yang dianut dan diyakininya serta bagaimana ideologi tersebut diposisikan dalam urusan pengelolaan dan pembangunan bangsa.
Ideologi sendiri, secara filosofis dapat dilihat sebagai berasal dari dua kata yakni ‘idea’ dan ‘logos’, sehingga dapat dimaknai sebagai pengetahuan tentang ide-ide luhur dan fundamental yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan nilai, norma bahkan hingga perilaku dan aksi. Dalam pandangan lain, ada juga yang menyebut bahwa ideologi merupakan pengetahuan tentang ide-ide fundamental yang bersumber dari alam ide (universal idea) dan ia dibutuhkan oleh manusia dalam konteks berbangsa yakni dalam mengatur dan memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsisten terhadap itu, maka ideologi berada pada sisi terdalam dari cita-cita dan impian suatu bangsa tentang bagaimana dan ke mana bangsa tersebut akan dibawa dan dikembangkan. Dalam konteks individu, ideologi mestinya menempati sisi terdalam dari jiwa manusia dan pada sisi tertinggi dari akalnya sehingga ia memiliki dimensi-dimensi universal yang luhur dan hakiki.
Dari Mitos ke Paradigma Ilmu
Sebagai sebuah ideology, tentu saja Pancasila mesti memiliki aspek dogmatik atau disebut aspek sakral sebab sebuah ideologi mesti dapat memiliki dimensi keabadian (eternity) lintas waktu dan lintas ruang. Ideologi harus dapat bertahan dari terpaan dan tantangan yang lahir dari dinamika dan dialektika sosial termasuk dari pengaruh ideologi lainnya untuk dapat menjamin keberlangsungan atau keabadian eksistensi suatu bangsa. Adapun untuk dapat memiliki aspek eternitas tersebut, maka Pancasila harus lahir dari dimensi terdalam diri manusia Nusantara (agama dan budaya) yang telah dikapitalisasi secara natural sehingga menjadi nilai-nilai kearifan lokal.
Terkait hal ini, pentinglah dipahami bahwa Ideologi Bangsa yang hanya tersimpul menjadi lima rumusan, seterusnya kemudian disebut sebagai Pancasila, bukan lahir secara tiba-tiba lalu memiliki muatan mistik dan dogmatik yang amat kental. Sila-sila ini tidak pula hadir berupa ilham atau wahyu sehingga harus diyakini sebagai bermuatan prophetik. Rumusan sila-sila ini tentu saja lahir dari proses pengayaan yang melibatkan keseluruhan potensi yang dimiliki oleh para perumusnya.
Bung Karno misalnya menyebut bahwa Pancasila mengandung mutiara-mutiara yang digali dari ladang-ladang atau pulau-pulau kearifan lokal Nusantara. Ungkapan ini dapat bermakna empat hal, pertama, ada semacam aktivitas survei dan riset yang dilakukan para perumus Pancasila untuk menghimpun nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam jiwa anak bangsa dan terejawantah dalam praktik kehidupan bermasyarakat pada berbagai tempat saat itu. Kedua, ada proses pengujian terhadap setiap nilai untuk melihat sekuat dan sedalam apa nilai-nilai kearifan lokal tersebut terhujam dalam masyarakat serta bagaimana nilai-nilai tersebut dapat bertahan melewati dinamika dan dialektika nilai yang dia ut dan diyakini oleh masyarakat.
Ketiga, ada proses konfirmasi antara nilai kearifan lokal dengan nilai atau ajaran agama yang dianut. Dalam konteks ini tentu ada dialog antara budaya lokal dengan agama baik lewat proses akulturasi, sinkritisasi maupun integrasi. Keempat, ada upaya pencarian titik temu antara nilai-nilai kearifan lokal yang telah diaya dengan nilai agama yang telah juga dirumuskan secara inklusif dan substantif berdasarkan titik temu agama-agama dan kepercayaan yang ada.
Berdasarkan uraian tersebut, setidaknya ada tiga tahapan pengujian terhadap Pancasila yakni, pertama, pengujian empiris ketika nilai-nilai tersebut hidup dan berlaku di tengah-tengah masyarakat. Kedua, pengujian di ranah rasionalitas ketika harus berdialog dengan berbagai dialektika dan dinamika sosial historis. Ketiga, pengujian secara filosofis atau kontemplatif ketika nilai-nilai yang ditemukan dari kearifan lokal harus diintegrasikan dengan nilai-nilai agama dan kepercayaan yang kita miliki.
Berbasis Nalar Kritis Dialogis
Pancasila lahir dari proses ilmu pengetahuan yang kemudian disimpul menjadi sebuah dogma agar dapat memiliki aspek keabadian (eternitas), maka tentu saja Pancasila ini dapat diejawantahkan kembali untuk menyederhana menjadi paradigma ilmu pengetahuan, teori-teori bahkan praktik-praktik strategis dalam kehidupan nyata. Karena itu, penting melakukan pendekatan yang komprehensif dan hirarkis terhadap Pancasila untuk dapat berinteraksi dengannya pada berbagai dimensi yang dimilikinya, mulai dari ranah dogmatis, etis, rasional hingga di ranah praktis.
Kemampuan mendekati Pancasila dalam berbagai dimensinya akan menjadi modal penting dalam merumuskan pola dan strategi bagaimana Pancasila ini dapat diajarkan, dipahamkan, dinternalisasi seterusnya dibumikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesadaran bahwa Pancasila bukan sekadar doktrin suci, tetapi lebih jauh meliputi paradigma saintifik yang rasional dan bahkan praktis akan mendorong kita untuk mampu segera merunuskan pola dan strategi pembumian Pancasila berbasis sakralitas, kesadaran paradigmatik, kesadaran kritis hingga kesadaran empiris dan praktis.
Tantangan kita saat ini adalah tentang rendahnya pemahaman, komitmen serta pengamalan Pancasila oleh berbagai kalangan. Adapun salah satu penyebab dari situasi ini adalah keterbatasan sebagian kita ketika memahami dan mengenali Pancasila pada seluruh dimensinya. Seseorang yang hanya memandang Pancasila sebagai lambang kesaktian dan sakralitas hanya akan memiliki kesadaran mistik terhadap Pancasila. Karenanya, penting untuk menyederhanakan kembali hakikat Pancasila untuk menjadi Paradigma Ilmu Pengetahuan, Paradigma Etika dan Moral serta Paradigma Kehidupan Sosial. Melalui cara inilah kita akan mampu membangun kesadaran paradigmatik, kesadaran kritis, kesadaran etis dan kesadaran praktis terhadap Pancasila.
Paradigma-paradigma ini kemudian harus pula diaktualisasikan dalam bentuknya yang lebih praksis hingga menjelma menjadi teori-teori, metode-metode serta sistem-sistem baru yang pada satu sisi ia dapat mengikuti dinamika dan dialeltika kemajuan peradaban, sedangkan pada sisi lain tetap tertumpu pada Pancasila sebagai Ideologi yang memiliki aspek universalitas dan eternitas.
PTKIN sebagai wadah pembinaan nalar dan kesadaran kritis dan dialogis, tentu saja memiliki posisi strategis dalam upaya mendekati dan memahami Pancasila. Tradisi akademik yang meliputi pengayaan spiritual, intuisional, rasional, empirikal dipandang relevan sebagai wadah bagi pengejawantahan Pancasila ke dalam berbagai dimensinya. Masyarakat kampus dapat dilihat sebagai yang paling mungkin untuk mengawal proses pengejawantahan Pancasila dari mitos menuju paradigma ilmu seterusnya menuju ranah strategis dan praktis.
Lebih jauh, fakta bahwa masih tegaknya tradisi akademik dalam bingkai Tridharma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat), telah pula menjadikan PTKIN sebagai wadah paling tepat untuk memahamkan, menginternalisasi seta membumikan Pancasila dalam berbagi aspek kehidupan berbangsa. Kemampuan berkontemplasi dapat menghantarkan pelakunya hingga ke horison terdalam (sacred) dari Pancasila itu sendiri. Kemampuan menalar dan berfikir kritis akan dapat menghantarkan seseorang kepada aspek dinamis, saintifik, dialektik dan dialogis dari Pancasila itu. Adapun kemampuan untuk meneliti dan mengabdi kepada masyarakat akan dapat menghantarkan seseorang untuk mampu melihat sisi progresif, strategis dan praktis dari Pancasila itu.
Jika alur berfikir ini dapat diterima, maka penting untuk menggeser paradigma Pembumian Pancasila dari pola dogmatis menuju pola dialogis, nalar kritis serta praktis yang sejatinya telah tertestimony pada budaya akademik yang ada di kampus. Pancasila dalam konteks ini, harus bisa mengejawantah secara hirarkis dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa, mulai dari dimensi sakral hingga praktis dan strategis. Adapun upaya ke arah itu akan terwujud manakala dalam proses pembumiannya telah mampu membangkitkan kesadaran paradigmatis, kritis, etis dan praktis.
Pembumian Pancasila mesti akomodatif terhadap dinamika peradaban dunia termasuk terhadap lajunya perkembangan teknologi digitalis. Pola pembumian Pancasila harus mampu mengadaptasi pola perkembangan sains dan teknologi hingga digitalisme agar ruang-ruang ini tidak lepas dari internalisasi nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pancasila harus bisa hadir dalam bentuknya yang relativ elastis untuk tetap dapat mengisi setiap aspek dan dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara yang demikian dinamisnya.
Penutup
Sebagai ideologi yang bertanggungjawab atas eksistensi, keberlangsungan dan keabadian Bangsa Indonesia, tentu saja Pancasila tidak boleh meninggalkan aspek sakral dan eternitasnya. Begitupun, sebagai sumber nilai yang menjadi rujukan setiap nalar, pemikiran, keputusan, kebijakan dan aksi, maka Pancasila tidak boleh alpa di setiap aspek dan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerangka kesadaran inilah yang sejatinya dapat menjadi dasar pertimbangan dalam merumuskan pola dan strategi pembumian Pancasila yang lebih aktual dan akomodatif terhadap dinamika dalam berbagai dimensi kehidupan. **
** Penulis adalah Rektor UIN Sumatera Utara Medan **