Asaberita.com – Medan — Kepala Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Provinsi Sumatera Utara KH Mustafid, MA mengatakan, ada tiga tantangan berat yang dihadapi oleh pendidikan madrasah ke depan pasca Covid 19.
Tantangan pertama adalah kwalitas sumber daya manusia dan manejemen yang modren. Tantangan kedua, bagaimana menghadapi arus perubahan teknologi dan industri 4.0. Dan tantangan ketiga adalah tentang moderasi beragama.
“Institusi pendidikan punya peran yang strategis untuk membentuk sumber
daya yang handal. Karena intitusi pendidikanlah tempat yang paling tepat
untuk membina, menempa, membentuk sebuah generasi muda yang berkwalitas dan
bertaqwa,” ujar Mustafid di Medan dalam wawancara yang didapat Asaberita.Com, Sabtu (30/05/2020).
Untuk menjawab generasi muda handal yang di lahirkan dari rahim madrasah/sekolah islam, maka modrenisasi sistem penyelenggaraan pendidikan di madrasah menjadi keharusan.
“Pola manejemen madrasah harus di sesuaikan dengan manajemen modren. Untuk itu harus ada pelatihan yang intensif kepada kepala madrasah mengenai manejemen berbasis sekolah/madrasah yang
modren”, jelas Mustafid.
Kemudian perubahan teknologi industri juga harus di respon secara cepat oleh institusi pendidikan, khususnya madrasah. Karena saat ini hanya dengan duduk dan tiduran, anak-anak sudah bisa berselancar kemana-mana.
Anak-anak pun bisa memesan apa saja yang diinginkan dari lokasi ia berada tanpa perlu
bersusah-susah.
“Perubahan teknologi industri yang tak terbendung dari 1.0 di mana tenaga
digantikan dengan mesin, 2.0 mesin dilengkapi sistem komputer, 3.0 munculnya internet hingga era industri 4.0 yang sangat digital dan artificial intelligent, meniscayakan dunia pendidikan untuk menyesuaikan dengan zamannya,” paparnya.
Menurut Mustafid, bisa jadi dalam 10 hingga 20 tahun ke depan, siswa-siswi madrasah tidak memerlukan ruang kelas lagi. Sebab dunia mereka sudah melampaui batas ruang dan waktu.
Mustafid yang juga menjabat Ketua LP MA’RIF PWNU Sumut mengatakan, dalam industri 4.0, membicarakan ruang dan waktu sudah tidak lagi relevan.
Untuk itu guru, tenaga kependidikan dan pemegang kebijakan pendidikan madrasah harus update pengetahuan teknologi, cepat dalam mengadaptasi teknologi sekaligus dapat mengantisipasi dampak negatifnya.
Tantangan ketiga yang lebih berat adalah persoalan memudarnya rasa kebangsaan dan penyusupan ideologi Trans-Nasional di masyarakat bahkan di lingkungan madrasah.
“Saat ini rasa ke-Indonesiaan sebahagian anak bangsa mulai tergerus. Indonesia sebagai negara “Bangsa” berada dalam periode genting. Persatuan dan kesatuan bangsa sedang diuji oleh ancaman gerakan politik puritanisme Islam dan penyusupan ideologi Trans-Nasional”, ujarnya.
Sudah banyak anak bangsa menurut Mustafid yang terpapar ideologi khilafah. Mereka bahkan telah berani secara terang terangan berkampanye memperjuangkan gagasan syari’at dan negara Islam di bawah kepemimpinan tunggal khalifah Islamiyah.
“Gerakan dan kampanye khilafah tersebar dan terstruktur hampir di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari kampus, BUMN bahkan hingga para pelajar. Hal ini tentu saja berpotensi terjadi gesekan di masyarakat yang dapat menimbulkan konflik horizontal bahkan vertikal,” jelas Mustafid.
Mustafid mengatakan, agama tidak boleh dipahami secara ekstrim, baik ekstrem kanan yang literalis maupun ektrem kiri yang liberal.
Untuk itu para guru dan pengambil kebijakan harus beres pemahaman keagamaan dan wawasan kebangsaanya berbasis pancasila, ke bhinnekaan, NKRI dan UUD 45.
Selain itu lingkungan dan fasilitas madrasah harus dibuat sedemikian kondusif agar peserta didik bisa belajar secara sehat.
“Oleh sebab itu, pendidikan madrasah harus mampu menjawab tiga tantangan tersebut melalui tiga unsur penting, yakni aktor (para guru, tenaga kependidikan, stakeholder), lingkungan dan fasilitas,” pungkasnya. (ikh/has)