Muhammad Ikhyar Velayati Harahap : Buzzer Banyak Dipelihara Kelompok Oposisi

Muhammad Ikhyar Velayati. (foto/msj)
Muhammad Ikhyar Velayati. (foto/msj)

PRO kontra buzzer belakangan ini semakin hangat diperbincangkan. Polemik bahaya kelompok ini semakin hari terus menggelinding kemana mana. Banyak pakar, politisi, aktivis, birokrasi dan akademisi baik dari oposisi maupun pendukung pemerintah saling tùduh memelihara buzzer.

Wartawan Asaberita.com tadi siang, Selasa (16/02/2021) mewawancarai tokoh aktivis Reformasi 98 Muhammad Ikhyar Velayati sekaitan polemik buzzer yang sedang ramai dibicarakan. Ikhyar Velayati Harahap atau akrab disapa Bung Cesper dikenal sebagai aktivis reformasi atas keterlibatannya beberapa gerakan mahasiswa maupun buruh di berbagai kota di Sumut, Aceh, Riau dan Jakarta.

Bacaan Lainnya

Dalam pergerakannya Ikhyar juga pernah ditahan di Gaperta selama sebulan terkait peristiwa 27 Juli 1996, kemudian tahun 1997 pernah ditahan seminggu di Kapoltabes Medan atas tuduhan selebaran anti Orde Baru dan mengorganisir diskusi anti pemerintah. Praktis sejak Tahun 97 hingga Mei 98 Ikhyar harus wajib lapor ke Bakortanasda, dan melakukan pergerakan bawah tanah dalam menggalang kekuatan anti Orba di kalangan mahasiswa dan buruh.

Berikut wawancara Asaberita.com dengan Bung Ikhyar di Cafe Aceh Corner Jalan Slamet Ketaren Medan :

T : Selamat siang Bung Ikhyar, apakah pemerintah saat ini masih demokratis?

J : Menurut saya, saat ini negara masih menganut sistem demokrasi, karena syarat-syarat demokrasi masih ada dan berlangsung hingga hari ini, Mulai dari pemilu langsung yang bebas, multi Partai. Perlindungan secara konstitsional atas hak-hak warga negara, kebebasan menyampaikan pendapat dan berorganisasi hingga, Badan kehakiman atau peradilan yang bebas dan tidak memihak. Ciri ciri negara demokrasi tersebut masih sangat kuat dan berjalan hingga hari ini.

T : Menurut sebahagian orang justru negara diambang otoritarianisnè, terbukti banyak orang yang mengkritik pemerintah ditangkapi.

BACA JUGA :  Aktifis ‘98 : Gerakan Pro Demokrasi Jangan Masuk Jebakan Oposisi

J : Justru terbalik, saat ini semua orang bebas ngomong dan berpendapat apa saja, tentu saja pendapat dan kritik tersebut di batasi oleh Undang undang, artinya seseorang boleh melakukan kritik atau berpendapat sejauh tidak bertentangan dengan UU misalnya fitnah, hoax, atau ujaran kebencian. Dalam negara demokrasi kebebasan berpendapat selalu sejalan dengan penegakan hukum dan perundang undangan.

T : Bagaimana menurut anda ada tuduhan pamerintah memelihara Buzzer untuk menghantam oposisi atau orang yang kritis?

J : Tuduhan pemerintah memelihara Buzzer itu ahistoris dan tidak sesuai fakta fakta yang ada, ini seperti maling teriak maling atau lempar batu sembunyi tangan. Semua orang tahu pada pilkada DKI 2012, Pilkada DKI 2017, Pilkada Sumut 2018 dan Pilpres 2019 FPI menjadi motor penggerak isu politisasi agama dan politik identitas bersama kelompok buzzernya seperti Muslim Cyber Armi, Sarachen, Portal Piyungan dan group buzzer lainnya menyerang Jokowi, Ahok dan pemerintah lewat isu isu antek aseng dan asing, anti Islam, PKI dan Komunis, anti Ulama hingga isu kriminalisasi ulama.

T : Apakah ada bukti bahwa kelompok oposisi yang justru memelihara para Buzzer?

J : Ya, ada jejak digitalnya, Tahun 2017 dan 2018 kolompok para buzzer pernah ditangkap oleh Bareskrim Polri, mereka The Family Muslim Cyber Army alias The Family MCA, Sarachen, portal islam dan piyungan. Mereka menyebutnya dengan Cyber Jihad. Mereka yang tertangkap berasal dari beberapa kota, Jakarta, Bali, Sumedang, Pangkalpinang, Yogyakarta, Palu, dan Tasikmalaya, jadi jaringannya menasional bahkan internasional. Dari penelusuran polisi dan media masyatakat tahu dan maklum sebahagian besar mereka berafiliasi ke salah satu Partai yang ada di parlemen.

T : Bagaimana sebenarnya kerja para Buzzer tersebut dan apa tujuan mereka?

BACA JUGA :  Relawan Persatuan Nasional : Harusnya Gagasan Budiman Yang Didiskusikan, Bukan Malah Dibully

J : Kerja para buzzer di media ini selalu berhubungan dan terkait dengan momentum politik, dimulai dari pilkada DKI 2012 yang memproduksi isu pribumi dan Non Pribumi, kemudian berlanjut pada Pilkada 2017 yang mempolitisasi isu dan sentimen keagamaan hingga terjadi polarisasi yang tajam di masyarakat,  hingga ada insiden seorang nenek tidak bisa disholatkan di wilayahnya karena dukung Ahok. Kemudian, berlanjut pilkada Sumut 2018 yang isunya tentang wajib milih pemimpin muslim dan  terakhir Pilpres 2019, saat itu para buzzer ini mengkampanyekan Joķowi adalah PKI, antek asing, antek china dan lainnya.Hingga saat inipun para buzzer dan medianya masih melakukan kampanye fitnah ke pemerintah dan Jokowi lewat tuduhan Pemerintah anti ulama, kriminalisasi ulama, pemerintah akan melarang azan hingga isu perkawinan sejenis akan dilegalkan.

T : Menurut anda masyàrakat masih percaya dengan isu isu seperti itu ?

J : Alhamdulillah sekarang masyarakat semakin cerdas dalam menyikapi suatu isu, selain itu masyarakat khususnya para penutur agama dan kelas menengah sudah berani melakukan perlawanan aktif di media sosial. Di sisi lain, masyarakat semakin punya kesadaran dan budaya hukum yang tinggi, mereka sudah berani melaporkan ke aparat hukum jika ada berita yang mengandung fitnah, hoax dan ujaran kebencian. Ini artinya demokrasi telah berbanding lurus dengan kesadaran dan penegakan hukum. ** msj

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *