KOLOM PAKAR

Polarisasi Capres Pemilu 2024

×

Polarisasi Capres Pemilu 2024

Sebarkan artikel ini
Teks Foto : Dr Anang Anas Azhar, MA
Teks : Dr Anang Anas Azhar, MA (foto/msj)

Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA

PELAN tapi pasti, Indonesia sedang memasuki tahun politik. Dinamika tahun politik 2024 akan datang, oleh banyak kalangan diprediksi tidak berjalan semulus Pilpres 2004, 2009 bahkan Pilpres 2014. Gejala polarisasi Pilpres 2024 semakin hari semakin menguat, bahkan bisa saja terulang kembali seperti Pilpres 2019.

Setelah Partai Nasdem deklarasi Anies Rasyid Baswedan sebagai capres, partai besukan Surya Paloh itu terus menerus menuai sorotan tajam. Polarisasi atau pembelahan masyarakat atas kebijakan politik Nasdem itu justru dipersoalkan banyak elit politik di negeri ini. Sikap Nasdem mendahului partai politik lainnya, mendeklarasikan capres dianggap sikap yang berani dan dianggap pada posisi politik “bunuh diri” meski Nasdem belum memenuhi syarat president threashold untuk mencapreskan pasangan capres pada pilpres 2024. Di lain pihak, Nasdem ingin memperlihatkan kepada masyarakat bahwa partai ini adalah partai politik terdepan, dalam menyikapi Pilpres 2024. Nasdem ingin mendulang keuntungan electoral pasca deklarasi Anies sebagai capres.

Nolan McCarty (2019), menyebut bahwa polarisasi berbeda dari keberpihakan. Polarisasi adalah pembelahan tajam atas sebuah isu-isu politik yang diperbincangkan di tengah masyarakat. Sedangkan partisan, merupakan sikap mendukung suatu partai politik, terlepas apakah sikap itu berbeda pandangan dalam menyikapi sebuah kebijakan politik di internal partai politik. Jika dikaitkan dengan sikap Nasdem atas pendapat Nolan McCarty tersebut, Nasdem adalah partai politik terbilang sukses membuka pandangan para elit politik Indonesia, betapa pentingnya deklarasi capres lebih awal. Sambil menunggu proses politik lainnya, Nasdem dan Anies lebih reaktif mencari pasangan koalisi partai politiknya untuk memenuhi ambang batas president threashold 20 persen.

Langkah Anies menggalang suara dari relawan dalam road show ke sejumlah wilayah semakin terbuka lebar, kendati dirinya belum dinyatakan resmi capres oleh penyelenggara pemilu. Langkah yang dilakukan Anies dan Nasdem, semakin hari justru memunculkan polarisasi di masyarakat. Pro-kontra pencalonan Anies, dimanfaatkan segelintir elit politik yang kurang bersahabat dengan Nasdem. Spekulasi politik, penilaian beragam pun muncul sebagai reaksi pendeklarasian Anies sebagai calon presiden dari Nasdem 2024.

BACA JUGA :  Tantangan Berat Rektor UINSU

Polarisasi politik atas pencapresan Anies, diprediksi bakal berlangsung lama hingga pemilihan presiden nanti. Baru satu partai politik yang menyatakan terang-terangan mencapreskan Anies. Polarisasi bakal terjadi sepanjang partai politik lainnya mencapreskan nama selain Anies Baswedan. Misalnya, andai saja PDIP mencapreskan Puan atau Ganjar, maka polarisasi politik tetap saja terjadi. Satu sisi, lawan-lawan politik Ganjar menanggapi miring atas pencalonan dirinya, sebaliknya begitu juga Puan. Elit politik yang tidak senang atas figur Puan, secara tidak sadar juga melakukan polarisasi. Singkatnya, hemat penulis, bahwa polarisasi hampir tidak dapat dihindari, apalagi menjelang Pilpres 2024.

Berbagai sudur pandang termasuk studi akademik menunjukkan bahwa polarisasi politik di Indonesia terus terjadi, seiring dengan menguatnya isu-isu politik identitas. Dan maraknya polarisasi capres di Indonesia, dipastikan akan mengganggu demokrasi kita. Bersama politik identitas, polarisasi politik dianggap sebagai ancaman besar bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Keterbelahan masyarakat dalam menyikapi isu-isu politik menjadi salah satu muara maraknya polarisasi politik capres di Indonesia. Ini dikarenakan adanya, perubahan sosio-kultural politik yang sengaja dimunculkan ara elite politik Indonesia.

Polarisasi yang sedang terjadi saat ini, dapat dikategorikan sebagai fenomena global yang menghampiri masyarakat kita di Indonesia. Bedanya hanya terletak siapa aktor kuatnya, Aktor politik berperan kuat dalam menumbuhkan atau meminimalisir polarisasi di masyarakat kita. Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, polarisasi juga terjadi. Bahkan menyebar sampai ke perangkat institusi agama dan suku. Amerika hingga saat ini, belum tuntas mengatasi polarisasi perbedaan ras, suku dan agama. Misalnya, perbedaan kulit hitam dan kulit putih. Hal yang sama juga terjadi di Inggris. Tetapi, dua Negara maju ini mampu meminimalisir polarisasi politik yang dialami negaranya dengan memperkuat ideologi Negara.

Di Indonesia, persoalan polarisasi politik sebenarnya bukanlah hal baru. Polarisasi sudah pernah ada di zaman Soekarno, yang berujung pada konflik massa tahun 1965. Nah, sekarang justru polarisasi muncul di tengah perhelatan pilpres, terkhusus pada pembelahan dukungan capres dari setiap pemilu. Pasca reformasi, Pilpres 2004, di era SBY polarisasi juga terlihat ada, namun tidak semarak saat ini. Ini dapat dilihat pasca kepemimpinan SBY, pilpres 2014, pilpres 2019 polarisasi capres mengarah kepada politik identitas, dan fakta inil sangat menyesakkan blantika politik Indonesia.

BACA JUGA :  Meryl Ajak Milenial Sumut Menangkan Ganjar Pranowo

Pertanyaannya, mengapa polarisasi capres terus menguat di Indonesia? Polarisasi sesungguhnya dipicu atas menguatnya identitas keagamaan pada sebagian masyarakat Indonesia. Benih kebencian terhadap salah satu capres dimunculkan, dan akhirnya menjadi bahan perbincangan di publik, memicu konflik ideologi dan fakta inilah dimanfaatkan kelompok tertentu untuk mempolarisasi masyarakat kita.

Kasus polarisasi agama sudah terjadi saat Pilkada DKI Jakarta  tahun 2017. Aktornya tidak semua elite politik memanaskan suasana, tetapi kelompok keagamaan yang militan juga ikut memanaskan suasana dan akhirnya polarisasi agama muncul yang mengarah kepada politik identitas.

Menghadapi suksesi kepemimpinan 2024 mendatang, kita semua berharap polarisasi agama yang mengarah kepada pembelahan pandangan atas isu-isu politik, seperti capres tidak sekeras yang terjadi sebelumnya. Harus diakui, polarisasi tidak serta merta hilang begitu saja, tetapi  polarisasi dapat diminimalisir dengan cara penguatan dukungan kepada salah satu capres tanpa “jualan” agama yang dipoitisir kelompok tertentu. Kita tidak ingin pilpres 2019 akan terulang kembali pada pilpres 2024. Semoga !!

** Penulis adalah Dosen dan Analis Komunikasi Politik UIN Sumut  

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *