Potret Industri Asuransi Di Tengah Covid-19

Sahrine Fhan Hidayanti
Sahrine Fhan Hidayanti. (foto/msj)

Oleh : Sahrine Fhan Hidayanti

 

Bacaan Lainnya

Pandemic Corona atau yang dikenal Covid-19 saat ini sudah menyebar di berbagai belahan dunia. Salah satunya adalah Indonesia. Covid-19 adalah zoonosis atau virus Corona yang ditularkan antara hewan dan manusia.

Perlu kita ketahui bahwa Cocvid-19 merupakan virus yang merebak pertama kali di Kota Wuhan, China pada akhir 2019 lalu dan telah menjangkit jutaan manusia, sementara ratusan ribu orang telah meninggal dunia akibat Covid-19. World Health Organization (WHO) juga telah menetapkan wabah virus corona ini sebagai pandemic global yang harus diselesaikan bersama-sama, karena sudah meluas di berbagai belahan dunia. Pada April 2020 data pasien yang positif terpapar virus COVID-19 mencapai 827.429 kasus, dengan jumlah kematian mencapai 40.777 di 205 negara.

Melihat penyebaran virus yang semakin mengkhawatirkan, pemerintah di berbagai negara memberlakukan kebijakan untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini. Dari mulai dengan mengadakan rapid test, social distancing, sampai pada kebijakan karantina wilayah atau lockdown dengan menutup segala akses keluar masuk ke dalam sebuah negara.

Meskipun jumlah kasus bertambah, namun pemerintah Indonesia tidak memilih kebijakan lockdown untuk menangani kasus ini, karena di nilai kurang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat di Indonesia. Akan tetapi, Indonesia memilih kebijakan untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tujuannya adalah untuk memblokir dan mencegah penyebaran Covid-19 dalam skala yang lebih besar lagi dari yang sudah tercatat.

Hal-hal yang dilarang dalam keadaan PSBB adalah dengan tidak diadakannya kegiatan sosial masyarakat, yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah yang banyak di tempat umum dan lingkungan sendiri, seperti pertemuan sosial, budaya, keagamaan, dan aliran kepercayaan. Kemudian konser musik, pekan raya, pestival, bazar, pasar malam, pameran, dan resepsi keluarga. Angka kematian yang semakin tinggi membuat Case Fatality Rate (CFR) atau rasio kematian di Indonesia meningkat menjadi 9.36%, hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan CFR tertinggi kedua di dunia setelah Italia.

BACA JUGA :  Politik Identitas: Semakin Bebas, Semakin Mulia

Meski begitu pandemic ini telah memberikan dampak pada perekonomian di berbagai industri, dari segi mikro maupun makro. Tidak terkecuali pada industri keuangan non-Bank IKNB yaitu Asuransi. Direktur Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menilai bahwa pandemic ini tidak akan mengganggu operasional asuransi secara langsung, akan tetapi berdampak pada perolehan premi yang tentunya dapat menyebabkan piutang premi perusahaan asuransi, serta terhadap pengakuan aset yang di perkenankan dalam perhitungan rasio keuangan.

Secara umum, industri asuransi memang tercatat kurang sehat di tengah pandemic COVID-19 saat ini. Bila mengacu pada catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), premi asuransi pada Maret 2020 hanya tumbuh 3.65%. padahal pada Desember 2019 industri asuransi masih mampu mencatat pertumbuhan premi hingga 15.65%.

Premi asuransi ibarat “darah” pada industri asuransi, rendahnya penerimaan premi jelas membuat pelaku industri asuransi menjadi sangat lemah, akibatnya kinerja keuangan industri asuransi ikut goyang. Tercermin dari rasio kesehatan keuangan atau Risk Based Capital (RBC) industri asuransi yang mangalami penurunan menjadi 642.7%. RBC merupakan tolak ukur yang dapat memberitahu tingkat keamanan finansial atau kesehatan perusahaan asuransi, RBC di katakana sehat bila nilainya semakin besar.

BACA JUGA :  Konsep Siyasah Maliyyah dalam Ciptakan Keadilan Sosial

Kondisi ini juga dikarenakan penurunan aktivitas ekonomi seiring terbatasnya aktivitas masyarakat sebagai konsekuensi dari kebijakan sosial distancing. Akibatnya terjadi penurunan daya beli masyarakat yang berimbas pada pembayaran premi oleh pemegang polis. Dalam menanggulangi dampak yang terjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan stimulus countercyclical untuk industri ini. Hal tersebut telah di sampaikan oleh OJK melalui surat S-7/D.05/2020.

Kebijakan pertama, yakni perpanjangan batas waktu penyampaian laporan keuangan berskala perusahaan kepada OJK. Perusahaan-perusahaan asuransi mendapatkan relaksasi waktu penyampaian laporan keuangan mulai dari 14 hari kerja hingga 2 bulan. Kebijakan kedua, yakni OJK mengatur bahwa pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatuhan (fit and proper test) bagi perusahaan perasuransian dapat di laksanakan melalui video conference.

Kebijakan ketiga, yakni mengenai perhitungan tingkat solvabilitas bagi perusahaan asuransi dan reasuransi, baik konvensiaonal maupun syariah. OJK memperkenankan perhitungan aset investasi berdasarkan nilai perolehan yang diamortisasi untuk sejumlah aset. ** msj

** Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Jurusan Asuransi Syariah FEBI UINSU Medan, peserta KKN-DR 2020 Kelompok 119 **

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *