Anak-anak Amerika yang melewati masa kanak-kanaknya saat kejadian 10 September, suatu kejadian terburuk dan paling mengerikan di AS, ternyata menyisakan endapan di alam bawah sadar mereka bahwa antara konsep agama yang diperkenalkan ke dalam diri mereka berbeda dengan apa yang mereka saksikan di dalam kenyataan. Apalagi kekejaman yang dipertontonkan secara terbuka di media-media dalam bentuk pembakaran dan memotong kepala, betul-betul membuat mereka takut sehingga mereka cenderung menghindar dari bahasa agama.
Saya saat ini sedang berada di AS diundang untuk memberikan materi seminar dan course di beberapa tempat. Komunitas orangtua muslim merasa resah. Anak-anak mereka malas beribadah ke masjid dan tidak mau menggunakan atribut-atribut keagamaan. Ini antara lain disebabkan karena persepsi yang melekat pada diri mereka tentang agama, khususnya bagi mereka yang beragama Islam; bukan agama atau Islam itu sendiri, tetapi “pemahaman” mereka tentang agama atau Islam.
Mereka sulit membedakan antara agama atau Islam dengan pemahaman yang dibentuk oleh opini orang tentang agama itu. Akibatnya mereka keliru di dalam mengambil kesimpulan. Akhirnya mereka terpengaruh seperti apa yang disampaikan oleh Gabril, seorang murtad Amerika, yang mengatakan bahwa yang teroris itu sesungguhnya bukan orang Islam, mereka hanya korban. Ia mengatakan: The real terrorism is Islam it self, muslims just a victim.
Kita perlu memahamkan kepada mereka dan mungkin untuk diri kita sendiri bahwa hakikat agama, khususnya Islam yang dengan namanya sendiri berarti “damai, selamat, tenteram.” Aksi yang merobek rasa kemanusiaan universal dilakukan dengan menggunakan bahasa agama yang perlu diluruskan kembali. Hal ini bukan hanya terjadi di dalam dunia Islam, tetapi juga pada agama-agama lain. Bahkan menurut Sekjen PBB Ban Ki-Moo pada pembukaan The White House Summit to Counter Violent Extremism, yang paling banyak korban terhadap kekerasan yang berlatar emosi keagamaan adalah umat Islam.
Kita bisa menyaksikan bahwa Al-Qaeda, ISIS, dan termasuk pembantaian umat Islam yang dilakukan aktivis Budha di Rohingya, Burma yang paling banyak korban ialah umat Islam. Dengan demikian kekerasan yang terjadi belakangan ini yang korban adalah umat Islam dan citra Islam itu sendiri.
Kini sudah saatnya umat Islam berpikir kritis dan harus hati-hati terhadap setiap ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Jangan sampai itu bukan murni bersumber dari agama, tetapi hanya penafsiran dari agama yang dilakukan oleh sekelompok orang yang punya kepentingan tertentu. Pemahaman secara kritis terhadap orisinalitas agama perlu pencerahan baru (new purification) untuk mengajak generasi baru Islam yang sudah terkontaminasi negatif terhadap opini publik tentang kekerasan yang dilakukan oleh segelintir orang yang mengatasnamakan agama, padahal sesungguhnya hanya pemahaman subjektivitasnya terhadap agama itu sendiri.
Penulis adalah Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
- Ahmad Zarnawi Dilaporkan ke Bawaslu Padanglawas Terkait Surat Perjanjian dengan Masyarakat - Oktober 4, 2024
- Kejari Binjai Musnahkan Barang Bukti Kejahatan Pidana Umum dari 122 Perkara - Oktober 4, 2024
- Blok Sumut Ungkap SK Aulia Rahman Sebagai Pj. Walikota Medan Tidak Diteken Pejabat Kemendagri - Oktober 4, 2024