Menjaga Spirit UINSU Juara

Ketua Penasehat DPP Gerakan Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan TGS Prof Dr KH Saidurrahman MAg (foto/msj)
Ketua Penasehat DPP Gerakan Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan TGS Prof Dr KH Saidurrahman MAg (foto/msj)

Oleh : TGS Prof Dr KH Saidurrahman M.Ag

 

Bacaan Lainnya

Saya tidak menyangka, jiga kata Juara itu telah menjadi Ikon bagi seluruh warga kampus UINSU Medan. Setiap warga UINSU yang mendengar teriakan UINSU, jawabnya adalah juara. Kata itu telah menjadi kesadaran batin warga UINSU Medan. Banyak orang yang memahami bahwa kata juara adalah hasil akhir dari sebuah pertandingan.

Tidak heran, jika ada sebagian orang menganalisa, uinsu sedang bertarung dengan siapa. Ingin mengalahkan siapa ?. Atau siapa lawan UINSU ? dan sebagainya. Artinya, jargon juara dipahami dalam makna perlombaan, kompetisi, musabaqah yang akhirnya adalah merebut juara. Orang yang memahami arti juara seperti ini tentu tidak salah. Itu hak mereka. Bahkan menurut saya, ketika mereka berkenan membahas makna juara bahkan dengan menggunakan pisau analisas filsafat, bagi saya boleh saja. Dan saya bersyukur karena mereka masih berkenan untuk membicarakan UINSU Medan.

Juara yang saya maksud adalah singkatan dari “ maju dan sejahtera”. Terasa aneh karena singkatannya tidak mengambil partikel awal tapi di akhir. Juara dari  “ju” dari “Maju” dan “ara” dari sejahtera. Tidak konsisten memang. Yang penting kata itu dipahami juara bukan dalam makna pertandingan tetapi singkatan maju dan sejahtera. Maju mengandung arti terdepan, melampaui, mengungguli, melesat dan terdepan. UINSU harus terdepan dari berbagai segi. Terutama lembaganya harus mampu mengungguli lembaga lainnya. sebut saja misalnya, UINSU harus bisa melampaui PTKIN atau UIN lainnya. jika kiblat UIN hari ini masih ke Jakarta dan Jogjakarta, maka UINSU Medan harus bisa melampaui kedua UIN tersebut. Hal ini dalam arti melampaui lembaga.

Maju juga berkaitan dengan dosen-dosennya. Ukuran dosen yang maju akan dilihat dari prestasi dan karyanya.  Tanpa mengabaikan pelaksanaan tugas pokoknya. Dosen yang menulis buku dan menulis artikel dan terbit di jurnal nasional dan internasional yang bereputasi, maka dosen tersebut telah membuat dirinya berbeda dengan lainnya. Saat ini jumlah publikasi internasional dan sitasinya menjadi ukuran maju tidaknya sebuah perguruan tinggi.

Demikian juga dengan mahasiswa. Kita selalu mendorong agar mahasiswa UINSU memiliki prestasi yang membanggakan buat almamater. Tentu sangat membahagiakan, ternyata saat ini kesadaran berkompetisi tanpaknya telah menjadi kebutuhan mahasiswa. Saya senang melihat mahasiswa berkumpul lalu merencanakan riset bersama untuk selanjutnya diterbitkan. Ada juga mahasiswa yang membuat kelompok-kelompok kecil lalu riset dan akhirnya melahirkan temua-temuan yang membanggakan. Prestasi mahasiswa ini dari berbagai disiplin ilmu telah pula dihimpun dan ditampilkan di dalam buku TGS Memimpin UINSU Menuju Universitas Kelas Dunia 2045 yang terbit tahun 2020 ini. Prestasi itu bukan hanya dalam bidang agama tetapi juga telah memasuki bidang-bidang sains kesehatan dan tekhnologi.

BACA JUGA :  Arah Baru Pembumian Pancasila di PTKIN

Intinya memahami kata maju itu sederhana saja. UINSU harus terus bertumbuh dan berkembang. Harus bisa melewati cobaan dan rintangannya, seberapa besar rintangan itu. Kenapa harus maju ? Sederhananya maju menunjukkan kita masih ada. Masih berprores. Tidak seperti lembaga bahkan manusia, wujudnya ada dan hadir tapi dipandang tidak ada. “Wujuduhu ka ‘adamihi” – adanya seperti tidak adanya. Ada tidak menambah jumlah. Pergi tak megurangi jumlah. Kenapa bisa terjadi ? Jawabnya karena lembaga itu tidak hidup, bertumbuh dan berkembang. UINSU harus maju, karena itu bagian sunnatullah. Terasa aneh, dunia terus berkembang namun UINSU stagnan. Ini tidak boleh terjadi.

Sedangkan kata sejahtera ini lebih bernuansa fisik, material dan spiritual. Jika di bawa ke dalam bahasa Arab, kata sejahtera itu sesungguhnya terjemahan dari falah yang mengandung makna yang cukup banyak. Bukan saja menang tetapi juga sejahtera. Bahkan di dalam kata falah ada makna bahagia. Kebahagiaan itu bisa terwujud jika kebutuhan fisik, material dan spiritual berjalan seimbang. Tidak ada yang mendominasi. Sederhananya, fisiknya sehat, kebutuhan materialnya terpenuhi dan spiritualnya terjaga. Orang yang seperti ini bahagia.

Saya membayangkan siapapun yang bekerja di UINSU apapun jenis pekerjaannya, pangkat dan jabatannya, harus bahagia. Sulit memahami ada orang yang bekerja di UINSU sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam negeri tapi tidak bahagia. Terasa aneh, bekerja di UINSU mengurusi calon-calon ulama dan ilmuwan muslim, namun ia tak bahagia. Jika ini terjadi, dari tiga hal di atas, ada yang bermasalah. Bisa jadi fisiknya tidak sehat dan afiat. Bisa juga bermasalah dari sisi financial, bahkan bisa jadi, dan ini banyak diduga orang, jiwanya kering atau disebut mengalami kehampaan spiritual. Hidup seimbang adalah kata kunci siapapun ingin bahagia.

BACA JUGA :  Turbulensi Partai Politik

Sebagai orang yang diberi amanah memimpin UINSU 2016-2020, impian saya tentang UINSU diantaranya adalah menghantarkannya menjadi Juara. Karena bukan sebuah pertandingan, maka tidak ada yang kalah. Karena bukan sebuah pertandingan maka tidak ada kata akhir. Artinya, Juara ini semestinya menjadi spirit UINSU selamanya. UINSU terus berjalan dengan spirit juaranya sampai pada akhirnya UINSU berhasil mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya. Jika ditinjau dari sisi agama, juara dalam arti maju dan sejahtera sesungguhnya adalah ajaran Al-Qur’an. Anjuran azan sholat, hayya ‘ala al-shalat itu adalah ayo menuju juara. Ungkapan di dalam Al-Qur’an seperti la’allakum tuflihun itu bermakna mudah-mudahan kamu menjadi juara. Qad aflaha juga maknanya sungguh beruntung orang yang juara. Sekali lagi juara dalam arti maju dan sejahtera.

Dalam konteks mahasiswa, Sejahtera saya terjemahkan dengan keberhasilan mahasiswa menyelesaikan pendidikannya di UINSU dengan menguasai berbagai cabang ilmu, memiliki kompetensi yang diperlukan untuk memasuki pasaran kerja. Tentu saja bukan sekedar tamat tetapi mereka mendapatkan nilai tambah yang memungkinkan mereka mampu menggunakan ilmu pengetahuannya untuk kehidupan yang lebih baik. Tidak kalah pentingnya, kesejahteraan itu juga diterjemahkan tidak boleh ada mahasiswa UINSU yang gagal menyelesaikan studinya hanya karena ketidakadaan uang. Saya memandang bea siswa zakat yang sudah berjalan, berhasil mengumpulkan lebih dari 3 M dengan jumlah peserta penerima lebih kurang 2500 mahasiswa adalah bukti kesejahteraan itu. Artinya, kesejahteraan para dosen itu berdampak pada kesejahteraan mahasiswa juga. Pada masa yang akan datang, di samping bea siswa zakat, kita akan mengembangkan wakaf produktif yang dimaksudkan sebagai dana abadi UINSU untuk bergerak dan berprestasi di dunia internasional.

Sampai di sini, jargon JUARA bukan sekedar teriakan lantang tanpa makna. Kata Juara sekali lagi, merupakan spirit dan energi bagi warga UINSU untuk terus bekerja maksimal sekaligus dalam bekerja itu, senantiasa menebar kemanfaatan bagi lembaga dan orang lain. Insya Allah, dengan cara ini UINSU akan selalu diberkahi Allah SWT. Amin ya rabb al-alamin. ** msj

 

** Penulis adalah Ketua Penasehat DPP Gerakan Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan dan Guru Besar Siyasah UINSU Medan **

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *