Scroll untuk baca artikel
#
KOLOM PAKAR

Ambruknya Industri Surat Kabar Cetak

×

Ambruknya Industri Surat Kabar Cetak

Sebarkan artikel ini
Dr Anang Anas Azhar MA, Dosen Ilmu Komunikasi UINSU dan UMSU Medan. (foto/msj)
Dr Anang Anas Azhar MA, Dosen Ilmu Komunikasi UINSU dan UMSU Medan. (foto/msj)

Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA

 

NASIB industri surat kabar dalam 10 tahun terakhir semakin memprihatinkan. Satu demi satu, pemilik surat kabar harus menutup total perusahaannya karena banyak faktor. Faktor utama penutupan surat kabar itu akibat krisis global yang mendunia. Krisis global ekonomi merambah Amerika Serikat, Eropa bahkan kawasan Asia termasuk Indonesia.

Ratusan perusahaan industri terpaksa harus gulung tikar. Salah satu industri tersebut adalah perusahaan surat kabar. Di Amerika, krisis industri surat kabar telah berlangsung 10 tahun lebih. Krisis itu ditandai anjloknya tiras sejumlah surat kabar ternama di Amerika Serikat, naiknya harga kertas mengakibatkan pembiayaan meningkat (doble cost) untuk operasional industri surat kabar. Kemudian menurunnya pemasukan iklan, sehingga berpengaruh kepada income industri surat kabar untuk bertahan hidup. Senat Amerika Serikat, pernah memanggil pemilik surat kabar di negaranya. Hampir seluruh pemilik surat kabar sepakat akan kondisi industri surat kabar cetak. Setiap harinya terus menerus merosot. Secara bertahap, akhirnya pemilik surat kabar di Amerika menutup industrinya dengan cara mengurangi karyawan yang bekerja untuk merumahkannya.

Berkurangnya pendapatan iklan media cetak di Amerika, akibat  berkembangnya teknologi informasi melalui media online. Banyak surat kabar bangkrut. Kilas balik ke belakang, sepanjang 2008, industri surat kabar di Amerika terpaksa mem-PHK lebih 41.000 karyawannya, sekitar 9.000 lowongan kerja di industri surat kabar hilang dari awal 2009 sampai sekarang. Lima koran besar yang sudah bertahan hidup hampir satu abad akhirnya tutup, misalnya surat kabar The News terpaksa memecat banyak karyawannya. Nasib yang sama ternyata tidak berakhir di Amerika semata, tetapi krisis global indutri surat kabar juga sudah lama melanda Negara-negara Eropa. Indonesia, justru merasakan dampaknya baru 6 tahun terakhir.

Ambruknya industri surat kabar di Indonesia sangat terasa nyata baru 3 tahun terakhir. Puncaknya setelah Indonesia dihantam pandemi covid-19. Ratusan surat kabar harus gulung tikar, karena memang tidak dapat bertahan hidup lagi. Ada pertanyaan khusus industri surat kabar Indonesia. Apakah ambruknya industri surat kabar di Indonesia sama dengan Amerika? Ternyata sedikit berbeda. Di mana letaknya? Persoalan manajerial. Industri surat kabar di Amerika menjaga ketat manajerial, sehingga pengaruh tutupnya surat kabar bukan pada manajerialnya, tetapi persoalan krisis globa ekonomi. Berbeda dengan Indonesia, selain krisis global, persoalan krusial industru surat kabar di Indonesia adalah manajerial.

BACA JUGA :  Memotret Rektor UIN Sumut

Ada dua analisis mengapa surat kabar di Indonesia mengalami keambrukan. Pertama, manajerial tumpang tindih. Seringkali, kualitas tidak sepadan dengan beban kerja. Banyak redaktur yang berkualitas tidak diangkat atasannya karena persoalan like or dislike. Pernyakit ini benar-benar menggejala di hampir semua indutri surat kabar. Faktor inilah menjadi salah satu penyebab ambruknya industri surat kabar di Indonesia. Kedua, manajerial satu pintu. Manajerial vertikal ini sering digunakan pemilik media tanpa melibatkan banyak stakeholder di perusahaan surat kabarnya. Keluhan operasional hanya diperbincangkan di tingkat elit pemilik media. Akhirnya, karena tidak memahami kondisi media, pemilik modal menutup perusahaannya.

Tak heran jika gelombang tsumani sedang menimpa industri surat kabar kita di Tanah Air. Awal 2017 saja, suasana mendung dunia jurnalistik kita terjadi di Koran Sindo. Pemilik modalnya, menutup Sindo setelah 11 tahun beroperasi. Terasa lebih mendung lagi. karena terjadi juga penutup bertahap pada grup media besar dengan pengalaman bisnis media yang pemilik modalnya masuk klaster kakap.

Kita dapat mencontohkan, misalnya edisi hari minggu Galamedia (koran regional grup Pikiran Rakyat), edisi hari minggu Koran Tempo (koran Tempo Media Group), Sinar Harapan, Jakarta Globe, Harian Bola, hingga majalah remaja legendaris dari grup sekaliber Kompas Gramedia Group (KKG) per 1 Juni 2017 lalu, HAI. KKG, bahkan, pada Desember 2016 lebih dulu menutup total edisi cetak delapan produknya (Kawanku, Sinyal, Chip, Chip Foto Video, What Hi Fi, Auto Expert, Car and Turning Guide, dan Motor) dikonvergensikan ke dalam cewekbanget.id dan grid.co.id.

BACA JUGA :  Tantangan Berat Rektor UINSU

Aspek lain, pemilik modal surat kabar menyesuaikan kondisi terknologi. Surat kabar cetak ditutup, tetap pemilik modal beralih merambah media online. Sejumlah surat kabar cetak yang tutup menggantinya dengan media online. Ini lebih efektif, fleksible dan tidak banyak mengeluarkan pembiayaan. Redaksi media cetak yang masih terbit, ternyata sangat bertumpu pada kemampuan jurnalis mengolah kata. Apalagi, saat ini media cetak harus bersaing dengan media online yang memiliki keunggulan dari sisi kecepatan dari beberapa aspek. Surat kabar cetak khususnya koran ditantang untuk menciptakan tulisan yang mampu dinanti-nantikan pembaca.

Setidaknya, surat kabar yang masih terbit untuk tetap bertahan dari badai gelombang, harus berani memproklamirkan diri sebagai media yang kuat. Media yang kuat syaratnya, kualitas penulisan harus tajam, penyajian konten dalam berita harus menampakkan diri sebagai pemegang kendali tertinggi di jurnalistik. Jika syarat ini berjalan, surat kabar yang tetap bertahan akan tetap dicari pembaca, meski krisis global sedang melanda industri surat kabar di seluruh dunia. **

 

** Penulis adalah praktisi media, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial UINSU dan UMSU Medan **

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *