Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA
TAK salah, jika saya menyebut kampus adalah pabrik memproduksi bahan mentah siap saji. Bahan mentah itu kemudian dipasarkan ke tengah masyarakat global yang heterogen untuk membangun sebuah peradaban (hadharah). Di dalamnya, sangat tertata rapi muatan moral akademik, bahkan menempatkan moral di atas ilmu.
Dulu kita mengenal kampus sebagai lembaga pencetak SDM. Ada dosen, ada pula mahasiswa. Dosen dan mahasiswa hakikatnya sama-sama menimba ilmu dan menjadikan ilmu sebagai antena pencerah sebuah peradaban. Ilmu secara akal berdiri sendiri tanpa intervensi kelompok kapitalis manapun yang secara langsung terlibat menodai moral akademik.
Gelombang perubahan ini terang dan nyata terjadi di kampus. Kita tidak dapat lagi membedakan mana orang kampus, mana orang partai politik atau bahkan mana LSM/NGO. Seakan orang kampus, orang partai politik dan NGO itu bermetamorfosis di mana mereka berada. Sangat nyata, bahkan sangat nampak terang bahwa ketiganya berbaur menjadi satu, bahkan pada aspek tertentu, sulit kita membedakan siapa sesungguhnya orang kampus, politisi yang sehari-hari mencari kehidupan di partai politik atau bahkan kelompok NGO yang doyan memetakan lingkungan sekitar. Agaknya kapitalisme sedang menggerogoti kampus-kampus kita di Indonesia. Yang mengkhawatirkan kita justru, lambat laun akan segera menghancurkan moral akademik kita di kampus.
Tanpa menyebut universitas mana, atau menyebutkan diri secara personal, ada trend baru yang mulai “membumi” di sejumah pencalonan pejabat, sebut saja seperti dalam pemilihan rektor. Pejabat itu berani mengeluarkan cost politic yang luar biasa. Cost politic ini, biasanya digunakan calon pejabat bersama tim untuk bersafari politik, lobi sana sini, hingga akhirnya menemukan titik nadir dalam sebuah kesepakatan politik.
Ironisnya, ada pula pejabat yang berani mengorbankan moral akademiknya terlibat transaksi money politic, kesepakatan terjadi di belakang layar dan akhirnya prilaku tak bermoral itu tidak lagi mengindahkan moral akademik yang sebelumnya diproduksi oleh kampus. Sangat ironis lagi, sang pejabat yang sehari-hari bergelimabng mendidik mahasiswa di kampus, berani mengeluarkan miliaran rupiah demi mendapatkan jabatan “Istana” di kampusnya.
Pertanyaannnya, darimanakah uang sebesar itu. Bukankah para kapitalis sedang masuk kampus? Memberikan pinjaman kepada sang calon pejabat, tapi akhirnya berbuntut panjang ingin menguasai kampus sepanjang periodisasinya saat menjabat. Proyek-proyek kampus dikuasai secara terstruktur, sistemik dan massif. Bahkan, intervensi penempatan siapa yang bakal menjabat di kampus juga terkapitalisasi secara rapi. Modus-modus kapitalis ini acapkali merambah kampus-kampus kita di Indonesia. Tanpa sadar pula, saya menyebutnya inilah “penjara” sesungguhnya saat ia menjabat. Pikiran tidak tenang, seakan-akan dikejar musuh, kehidupannya di bawah ancaman dan penuh kekhawatiran dalam menjalankan moral akademik saat menjabat di kampus..
Transaksi “haram” itu sejatinya tidak harus terjadi di kampus, ketika salah satu elemen yang diuraikan di atas tidak bersepakat. Lagi-lagi, mana orang kampus, mana orang partai politik dan mana NGO semakin kabur, semua berbaur masuk kampus dan bermetaformosis menjadi kelompok yang menamakan dirinya “pahlawan” membangun moral akademik.
Kapitalisme saat ini memang menggeroti kampus-kampus kita. Seakan para pejabat kita “ditidurkan” oleh kejaran “istana” yang mewah. Tapi tanpa sadar pejabat-pejabat kita justru memenjarakan dirinya kepada penghamba kapitalisme. Kelompok kapitalis masuk kampus. Dapatkah para pejabat kita itu terhindar dari serangan kaum kapitalis? Secara tegas, saya mengatakan tidak bisa. Globalisasi menghendaki hal demikian. Tetapi, ada satu kata kunci yang wajib dipegang, yakni memegang teguh moral akademik tidak berkiblat pada kelompok kapitalis. **
** Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial UINSU dan FISIP UMSU Medan **