
Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA
KEKUATAN politik nasional acap kali direpresentasikan dalam partai politik. Partai politik menjadi hal yang prioritas bagi para politisi. Apalagi ketika bangsa ini memasuki suksesi kepemimpinan nasional maupun suksesi politik tingkat lokal, hampir dipastikan sejumlah kader atau di luar kader partai politik merapat kepada pemegang eksekusi partai politik.
Dari banyak studi kepartaian di Indonesia, ternyata partai politik adalah pemutus segalanya dari aktivitas politik Indonesia. Ini dikarenakan, partai politik “pemegang” tunggal eksekusi penetapan pencalonan para bakal calon, apakah calon presiden, gubernur, bupati atau walikota. Inilah fenomena politik kepartaian kita di Indonesia. Studi-studi kepartaian yang memfokuskan pada riset politisi dan partai politik menunjukkan, betapa kuatnya dominasi sekaligus campur tangan partai politik dalam mengambil kebijakan agenda besar politik kita di Indonesia. Sampai-sampai ada istilah, partai politik adalah lembaga pemegang kekuasaan unlimited.
Fakta politik yang dapat disuguhkan dalam tulisan ini, ketika partai politik berkeiginan menetapkan calon presiden/wakil prsiden. Partai politik terlihat kehilangan nakhoda. Dari sembilan partai politik yang memiliki fraksi yang ada perwakilannya di parlemen, tidak semua kader partai politik memiliki calon presiden yang kuat. Secara sederhana, partai politik mengalami turbulensi kader dalam kontestasi lima tahunan. Hanya beberapa partai politik saja yang memiliki kans kuat mencapreskan kadernya pada pemilu ke pemilu. Ini artinya, partai politik tidak memiliki kader potensial, justru sebaliknya partai politik lebih bernafsu jika calon presidennya berasal dari luar partai atau non kader.
Sejak reformasi tahun 1998 bergulir, politisi yang tampil mencapreskan diri justru berasal dari luar kader partai politik atau berkamuflase masuk partai politik. Dalam catatan penulis, ketika Pilpres 2004 Susilo Bambang Yudhoyona (SBY) bukan bagian kader partai politik. Karena SBY ingin mencapreskan diri, ia pun mendeklarasikan partai politik yang kemudian diberi nama Partai Demokrat.
Lagi-lagi, fakta politik menunjukkan SBY berlatar belakang TNI yang berkamuflasi menjadi politisi, kemudian gembling dan berjuang mendirikan partai politik. Setelah 10 tahun menjabat, peralihan sukses kepemimpinan nasional juga dipasok dari luar partai politik, yakni Joko Widodo. Ia bukan kader murni partai politik. Lagi-lagi penulis menyebut ia adalah sosok pengusaha meubel di Solo itu, berubah wajah menjadi politisi yang kemudian masuk menjadi kader PDI Perjuangan ketika mencapreskan diri pada pilpres 2014 lalu. Inilah wajah partai politik kita di Indonesia, politisi yang maju di kompetisi pilpres bukan berasal dari kader partai politik.
Pertanyaannya ada apa dengan partai politik? Apakah sistem kaderisasi partai politik di Indonesia tidak ada. Atau justru kader yang diambil dari luar partai politik, karena ada faktor eksternal yang tidak mungkin diungkap partai politik. Selintas memang, secercah harapan terbuka untuk kader partai politik menguasai suksesi kepemimpinan nasional. Ideologi kepartaian yang terbangun saat kader partai politik masuk dalam capres atau kabinet terlihat nyata. Perjuangan politik yang diusung partai politiknya nampak, bahkan tidak jarang mengarah kepada konflik horizontal. Perlawanan ideologi partai mengarah kepada konflik antar-partai politik di parlemen.
Hemat penulis, paling tidak mengatasi persoalan internal partai politik yang diurai di atas harus ada kebijakan semisal dalam bentuk regulasi untuk menutup peluang calon di luar partai masuk ke partai politik. Dampak akan dapat dirasakan, bahwa politisi “nakal” tidak berseliwaran bermain di lapangan mencari keuntungan pribadi demi partainya sendiri. Pertama, turbulensi kader di partai politik merupakan preseden buruk bagi masa depan partai politik. Kader-kader yang sudah lama berjuang dan membesarkan partainya, terabaikan begitu saja karena tidak diberi peluang untuk mencalonkan diri, hingga akhirnya kader di luar partai memiliki kesempatan.
Kedua, turbulensi kader partai politik tidak terjadi lagi, ketika pemegang saham partai politik yakni ketua umum partai menolak “mahar” yang diberikan calon di luar partai politik. Bringasnya praktik-praktik politik kotor semacam ini sudah lama terjadi, bahkan semacam ada pembiaran. Ini dikarenakan, para politisi kita yang menjadi pemutus di partai politik haus kekuatan modal. Bias politik yang dirasakan, justru calon yang memiliki kekuatan modal cukup, sangat mudah masuk ke partai politik. Dalam kondisi seperti inilah, kader-kader partai yang seharusnya dicalonkan, memilih mundur karena dihadapkan dengan persoalan modal kapital yang kurang.
Ketiga, mengatasi turbulensi kader partai politik di Indonesia, hemat penulis harus ada aturan yang mengatur, yakni UU Partai Politik, sub poinnya menegaskan menutup calon di luar kader partai politik. Jika ini masuk dalam aturan, dipastikan hanya kader partai politik yang dapat mencalonkan diri dalam setiap kontestasi politik di Indonesia. Apakah calon presiden, gubernur, bupati dan walikota. Di pihak lain, aturan yang digunakan ini akan menutup kran, permainan modal di luar kader partai segera tereleminir. Permainan praktik-praktik uang dalam partai dapat diawasi secara ketat. Bahkan, harapan kita semua partai politik sehat tanpa ada permainan uang, suap menyuap dalam setiap kontestasi politik. Citra partai politik sebagai partai kader semakin menguat, dan inilah harapan yang diharapkan kader partai politik dalam setiap kontestasi yang berjuanh harus kader dan yang menang harus kader partai politik.
Aspek politik yang tidak dapat dihindari partai politik adalah berhadapan dengan kekuatan modal. Modal untuk kampanya sangat dibutuhkan partai politik. Tidak semua partai politik memiliki modal yang sama saat kampanye. Bantuan pemerintah anggaran lewat suara dalam pemilu belum mencukupi, apalagi dihitung melalui jumlah suara. Justru terjadi diskriminasi anggaran. Misalnya, partai politik besar dengan peraih jumlah suara yang besar, dipastikan jumlah anggaran yang dibantu pemerintah juga banyak.
Sebaliknya, partai politik yang jumlah sauaranya di parlemen terbatas, anggaran yang diperoleh juga terbatas. Ada baiknya, jumlah anggaran yang dibantu dimaksimalkan. Anggaran yang ada dimaksimalkan untuk pembinaan kaderisasi kader partai politik. Harapan kita, dari sinilah turbulensi kader partai politik segera teratasi. Semoga !!
** Penulis adalah dosen dan analis komunikasi politik UIN Sumatera Utara Medan