
Asaberita.com, Medan – Mantan auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Faturrahman menyatakan, hasil audit ITS Surabaya dan BPKB yang menentukan ada kerugian negara sebesar Rp10,3 miliar dalam pembangunan gedung kuliah terpadu UINSU Medan, tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan tidak dapat dijadikan acuan hukum.
“Hasil audit BPKP berdasarkan hasil penilaian konstruksi dari ITS, tidak dapat dijadikan landasan penentuan kerugian negara, karena acuan hukumnya tidak ada. Kewenangan untuk menentukan ada atau tidaknya kerugian negara pada satu kegiatan yang sumber dananya dari APBN, itu ada pada BPK”.
Demikian dikatakan Faturrahman, saat dimintai pendapatnya sebagai saksi ahli pada persidangan dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pembangunan gedung kuliah terpadu UINSU Medan dengan terdakwa mantan Rektor UINSU Prof. Saidurrahman, diruang Cakra 4 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (25/10) sore.
Dia menyebutkan, penentuan ada atau tidaknya kerugian negara pada pekerjaan yang sumber dananya dari APBN sebagai kewenangan BPK, diatur dalam UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, serta UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dihadapan majelis hakim yang dipimpin Syafril Batubara, jaksa penuntut umum (JPU) dan kuasa hukum terdakwa serta berada dibawah sumpah, Faturrahman yang pernah bertugas sebagai auditor BPK selama 11 tahun ini menjelaskan, karena sumber dana dalam pembangunan gedung kuliah terpadu UINSU yang tidak selesai hingga berakhirnya kontrak adalah dana SBSN dari APBN, maka jika ada indikasi atau dugaan penyimpangan dalam pembangunannya, sesuai ketentuan yang ada, yang harus diminta dan/atau melakukan audit adalah BPK, bukan pihak lain.
Kemudian jika dalam audit yang dilakukan BPK ditemukan ada indikasi kerugian negara, sementara gedung belum selesai dan kontrak telah berakhir, menurut Fatur, sesuai dengan PMK No.5/2015 tentang Pelaksanaan Anggaran
Dalam Rangka Penyelesaian Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan Sampai Dengan
Akhir Tahun Anggaran, untuk memulihkan agar tidak terjadi kerugian negara, pemerintah memberi pilihan kepada kontraktor untuk menyelesaikan pekerjaan yang tersisa, atau mengembalikan nilai sisa pekerjaan.
Dana Jaminan Telah Dicairkan

Menjawab pertanyaan kuasa hukum terdakwa, bahwa KPPN telah mencairkan dana jaminan senilai sisa pekerjaan serta dana jaminan pemeliharaan sebesar Rp4,016 miliar dari Bank Jawa Barat yang disetor kontraktor karena pekerjaan tidak selesai. Fatur berpendapat, jika dana jaminan sisa pekerjaan serta dana jaminan pemeliharaan telah kembali ke kas negara, maka tidak ada lagi kerugian negara. Karena dana itu bisa dianggarkan ulang untuk penyelesaian pekerjaan yang tersisa.
Saat diminta pendapatnya oleh Sofwan Tambunan selaku kuasa hukum terdakwa Saidurrahman, bahwa kasus ini muncul karena adanya dua penilaian progres pekerjaan yang berbeda. Dimana Konsultan Manajemen Konstruksi (KMK) membuat penilaian progres pekerjaan keseluruhan proyek sudah 91,07 % dan menjadi dasar pihak UINSU membayar senilai progres pekerjaan ke kontraktor, serta pembayaran 100% di akhir tahun anggaran setelah kontraktor memberi dana jaminan senilai sisa pekerjaan serta dana jaminan pemeliharan.
Kemudian dalam penyidikan di Polda Sumut disebutkan ada kerugian negara sebesar Rp10,3 miliar berdasar audit BPKP. Dasar penghitungan kerugian negara oleh BPKB adalah penilaian dari ITS yang menilai progres pekerjaan baru 74,17% atas permintaan Polda Sumut melakukan penilaian bangunan setahun kemudian.
Pokok perbedaan penilaian antara KMK dan ITS, sebut Sofwan, adalah pada dihitung serta tidak dihitungnya material onsite. Baik KMK maupun ITS sama-sama menilai bahwa fisik bangunan sudah selesai 100%. Kemudian KMK dalam penilaiannya menghitung komponen elektrikal mekanikal dengan memasukkan material onsite yang sudah berada dilokasi proyek. Sementara, pihak ITS sama sekali tidak menilai material onsite sehingga terjadi perbedaan.
Lalu, Sofwan juga minta pendapat ahli atas penggantian kerugian negara yang telah disetorkan ke kas negara sebesar Rp10,3 miliar, yang didahulukan oleh kliennya Prof Saidurrahman selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) karena dilandasi rasa tanggung jawab serta menjaga citra dan marwah UINSU
menggunakan dana pribadinya, setelah melakukan perjanjian tertulis dengan kontraktor untuk mengganti kerugian negara.
Atas pertanyaan itu, Faturrahman berpendapat dalam melakukan audit atau penilaian, material onsite harus dihitung dan dicatat ke dalam barang yang telah tersedia, sebab barang telah dibeli dan ada anggaran dari nilai proyek yang sudah dikeluarkan.
“Untuk pengadaan material itu kan sudah dikeluarkan dana untuk membelinya. Acuannya untuk menghitung itu dokumen kontrak dan RAB. Jika material itu tercantum dalam RAB wajib dihitung dan dicatat ke barang yang sudah tersedia. Dihitung bobotnya dikurangi biaya pasang dan dijumlah ke progres keseluruhan pekerjaan,” katanya.
Terkait progres, Fatur menyebut KMK yang memutuskan progresnya mewakili PPK dan KPA selaku owner. Jarang sekali PPK tidak menyetujui atau tidak menandatangani laporan progres yang telah dibuat KMK apalagi jika PPK bukan orang yang ahli kontruksi, sebab KMK yang dikontrak adalah tim ahli.
Sedang untuk pembayaran kepada pihak kontraktor, dasarnya adalah dokumen kontrak. Ada diatur termin-termin pembayaran dan progresnya. Dan ketika progres fisik sudah disampaikan KMK sekian persen, tidak ada alasan bagi KPA untuk tidak membayar hasil pekerjaan. Karena PPK telah menjalin kontrak dengan KMK dalam hal pengawasan dan memberi penilaian pekerjaan yang dilakukan pelaksana konstruksi.
Tentang regulasi akhir tahun, Fatur menyebut dalam Peraturan Menteri Keuangan bisa dibayarkan 100% jika pekerjaan sudah diatas 90%. Syaratnya ada dana jaminan sisa nilai proyek serta dana jaminan pemeliharaan yang sewaktu-waktu bisa dicairkan bila pekerjaan tidak selesai untuk menghindari terjadinya kerugian negara.
Terkait adanya perbedaan penilaian progres antara KMK dan ITS, Fatur menyatakan karena itulah solusinya harus melalui audit BPK. Perbedaan penilaian itu juga bisa diselesaikan apabila mengacu pada Peraturan BPK No.1 Tahun 2020 tentang Pemeriksaan Investigatif, Penghitungan Kerugian Negara/Daerah, dan Pemberian Keterangan Ahli.
Tidak Ada Tagihan Kerugian Negara
Menyangkut penggantian kerugian begara Rp10,3 miliar yang telah disetorkan ke kas negara, Fatur berpendapat harusnya itu tidak perlu disetorkan karena tidak ada tagihan untuk penggantian kerugian negara. Sebab menurutnya, penilaian ITS serta audit BPKP tidak bisa dijadikan acuan bahwa negara telah dirugikan sehingga negara menagih penggantian kerugian.
“Pendapat saya harusnya dana Rp10,3 miliar itu tidak perlu disetorkan karena tidak ada dasar hukumnya. Kembalinya dana jaminan ke kas negara sebesar Rp4,016 miliar sesuai nilai sisa pekerjaan dan dana jaminan pemeliharaan, itu sudah menutupi potensi terjadinya kerugian negara,” katanya.
Fatur menjelaskan, jika ada kerugian negara setelah melalui audit resmi dari BPK, Kementerian Keuangan akan menerbitkan rekening billing untuk penagihan pembayaran kerugian negara kepada pihak yang bertanggungjawab membayar kerugian negara.
Namun dalam kasus ini, Kementerian Keuangan tidak ada menerbitkan rekening billing untuk tagihan pembayaran kerugian negara sebesar Rp10,3 miliar atas hasil penilaian dari ITS serta hasil audit BPKP yang menyebut ada kerugian negara Rp10,3 miliar.
Dan sesuai bukti yang ada, penyetoran dana sebesar Rp10,3 miliar itu, dilakukan melalui rekening billing wajib pajak bendahara rutin UINSU, dengan keterangan pembayaran kerugian negara pembangunan gedung kuliah terpadu UINSU oleh PT Multikarya Bisnis Perkasa, bukan ke rekening billing khusus untuk penagihan kerugian negara.
Sehingga menurut Fatur, penyetoran dana Rp10,3 miliar itu jadi keuntungan negara, karena tidak adanya tagihan untuk mengembalikan kerugian negara. Lalu apakah dana itu bisa dikembalikan? Menurutnya bisa saja dikembalikan, jika hal itu diputuskan oleh pengadilan. (has)
1,444 total views, 4 views today
Komentar Anda