
Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA
MOHON maaf sedalam-dalamnya, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyindir apalagi menyinggung pihak manapun menjelang suksesi kepemimpinan Rektor UIN Sumut periode 2023-2028. Sivitas akademika UIN Sumut banyak bertanya-tanya, siapa sebenarnya Rektor UIN Sumut defenitif pasca Plt Rektor UIN Sumut Prof Dr Abu Rokhmad M.Ag berakhir tugasnya.
Ada banyak indikator untuk memotret siapa sebenarnya sosok yang tepat dalam menakhodai UIN Sumut empat tahun ke depan. Sejak Plt Rektor UIN Sumut dijabat Prof Abu Rokhmad, gonjang-gonjing kepemimpinan UIN Sumut mulai berdinamika bahkan hangat diperbincangkan.
Indikatornya mudah kita tebak. Pertama, dosen yang berkeinginan memiliki tugas tambahan, tetapi belum mencukupi syarat profesor untuk calon rektor sebagaimana diatur dalam statuta UIN, terlihat mulai bergegas mengusul profesornya setelah artikel di jurnal internasional bereputasi (Scopus) dipublis. Pelan tapi pasti, poin pertama ini dinamikanya mulai mengemuka di kalangan sivitas akademika UIN Sumut. Kedua, dosen yang telah profesor sesuai syarat di statuta UIN ingin berkompetisi, geliatnya mulai tampil di panggung belakang. Kelompok kecil ini, banyak melakukan grilya secara perlahan. Indikasi ini dapat kita temukan adanya rapat-rapat kecil antara kelompok pendukung dari panggung belakang.
Sivitas akademika UIN Sumut pun banyak memperbincangkan sosok yang mumpuni menakhodai “kapal besar” UIN Sumut ini. Ada Prof Dr Nurhayati M.Ag, Prof Dr Katimin M.Ag, Prof Dr Hasan Asari MA, Prof Dr Abdurrahman M.Pd, Pof Dr Syukur Kholil MA, Prof Dr Amroeni Drajat M.Ag, Prof Dr Faisar Ananda MA, Prof Dr Tien Rafida M.Pd, Prof Dr Muzakkir M.Ag dan sosok yang kemungkinan muncul melihat dinamika yang ada. Sosok yang disebut di atas, paling tidak menjadi potrekan penulis ketika melihat dinamika suksesi kepemimpinan UIN Sumut empat tahun ke depan.
Kapan jadwal suksesi ini berjalan? Sivitas akademika UIN Sumut tinggal menanti kerja panitia seleksi yang segera dibentuk dalam waktu dekat. Begitu juga penilaian kualitatif dari anggota Senat Universitas. Ending-nya penetapan keputusan akhir dari Menteri Agama RI. Walau model pemilihan rektor PTKIN ini menggunakan PMA Nomor 68/2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua pada Perguruan Tinggi Keagamaan menuai kritikan tajam dari kalangan akademisi, namun aturan inilah yang hari ini tetap digunakan Kementerian Agama RI sebelum ada perubahan aturan yang baru.
Bagi kita, siapapun yang terpilih dan ditetapkan Menteri Agama RI adalah sosok terbaik. Tak salah, jika saya menyebut kampus adalah pabrik untuk memproduksi bahan mentah yang siap saji. Bahan mentah itu kemudian dipasarkan ke tengah masyarakat global yang heterogen untuk membangun sebuah peradaban (hadharah). Di dalamnya, sangat tertata rapi muatan moral akademik, bahkan menempatkan moral di atas ilmu. Rektor yang terpilih, harus mampu menakhodai kapal besar ini agar tidak terjerumus dalam kelompok kapitalis.
Sedikit ke belakang, dulu kita mengenal kampus sebagai lembaga pencetak SDM. Ada dosen, ada pula mahasiswa. Dosen dan mahasiswa substansinya sama-sama menimba ilmu dan menjadikan ilmu sebagai antena pencerah sebuah peradaban. Ilmu secara akal berdiri sendiri tanpa intervensi kelompok kapitalis manapun yang secara langsung terlibat menodai moral akademik. Kita tidak ingin, UIN Sumut dinodai kelompok kapitalis yang ingin memperburuk suasana akademik menjadi kacau.
Tanpa menyebut universitas mana, ada trend baru yang mulai “membumi” di sejumah pencalonan dalam suksesi kepemimpinan, sebut saja dalam pemilihan rektor. Pejabat itu berani mengeluarkan cost politic yang luar biasa. Cost politic ini, biasanya digunakan calon pejabat bersama tim untuk bersafari politik, lobi sana sini, hingga akhirnya menemukan titik nadir dalam sebuah kesepakatan politik.
Ada pula pejabat yang berani mengorbankan moral akademiknya terlibat transaksi politik pragmatis, kesepakatan terjadi di belakang layar dan akhirnya prilaku kurang bermoral itu tidak lagi mengindahkan moral akademik yang sebelumnya diproduksi oleh kampus yang terbilamg suci. Sangat tragis bukan? Sang pejabat yang sehari-hari fokus mendidik mahasiswa di kampus, berani mengeluarkan miliaran rupiah demi mendapatkan jabatan “Istana” tertinggi di kampusnya. Pertanyaanya, darimanakah uang sebesar itu. Bukankah para kapitalis sedang masuk kampus? Penulis tidak terlalu jauh menuliskan fakta ini, tapi suasana inilah yang sedang mengkapitalisasi kampus kita saat ini.
Yang paling tragis lagi, para kapitalis ini memberikan pinjaman segar kepada calon pejabat. Akhirnya berbuntut panjang, bahkan ingin menguasai kampus sepanjang periodisasinya berlangsung. Proyek-proyek kampus “dikuasai” secara terstruktur, sistemik dan massif. Intervensi penempatan siapa yang bakal menjabat di kampus juga terkapitalisasi secara rapi. Kapitalisasi ini tanpa kita sadari, acapkali merambah kampus-kampus kita di Indonesia. Penulis menyebutnya inilah “penjara” sesungguhnya saat ia menjabat sebagai rektor. Pikiran tidak tenang, seakan-akan dikejar musuh, kehidupannya di bawah ancaman, tekanan dan penuh kekhawatiran dalam menjalankan moral akademik saat menjabat di kampus..
Pada sisi lain, kapitalisasi memang sedang menggeroti kampus-kampus kita. Seakan para pejabat kita “ditidurkan” oleh kejaran “istana” yang mewah itu. Tanpa sadar pula, pejabat-pejabat kita justru memenjarakan dirinya kepada penghamba kapitalis. Akhirnya, penulis ingin bertutur bahwa tugas kita sebagai dosen, atau pun pejabat yang sedang memiliki tugas tambahan sungguh sangat berat.
Mari kita sama-sama mengingatkan moral akademik kita tetap dikedepankan, demi menjaga sebuah marwah, martabat dan harga diri membangun peradaban dunia yang kita mulai dari kampus, khususnya peradaban kampus kita kampus UIN Sumut yang kita cintai. Tulisan sederhana ini, hanya sekelumit mengingatkan kita semua, karena kampus sebagai penjaga moral akademik yang wajib kita dipertahankan. Semoga !!
“ Penulis adalah Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi FIS UIN Sumatera Utara, Medan