Oleh : Dr Salahuddin Harahap, MA
SEMENTARA orang telah secara ‘kecele’ mempertentangkan antara agama dengan Pancasila dan ada pula yang memposisikan agama sebagai kompetitor Pancasila. Mereka yang dalam kategori inilah yang baru-baru ini disindir oleh Kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi. Dimana ada sebagian orang yang mengaku beragama bahkan mengaku cinta agama tetapi justeru dalam kehidupan berbangsa tampil berhadap-hadapan dengan Pancasila. Ada pemahaman agama yang sengaja dibangun dan dipertentangkan dengan Pancasila, seterusnya menjadikan agama harus berhadap-hadapan dengan Pancasila. Padahal, Pancasila sendiri sesungguhnya telah diliputi oleh susbtansi agama itu sendiri.
Tentu saja cara pandang atau model manifesto beragama yang demikian kurang tepat, apalagi dalam konteks di Indonesia. Barangkali, bagi seorang muslim berkebangsaan Saudi, Pakistan atau Qatar wajar saja jika memiliki pandangan bahwa ada pertentangan antara agama yang dipahaminya dengan Pancasila, sebab Pancasila memang bukan ideologi bangsanya. Sementara keberagamaan sendiri atau keislaman akan senantiasa dipengaruhi oleh budaya, kearifan bahkan ideologi negaranya.
Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan muslim Indonesia, dimana ajaran Islam telah selesai dikompromikan dengan berbagai prinsip, norma dan nilai baik budaya, kearifan lokal bahkan sosio politik — yang seterusnya disimpul dalam Pancasila. Sehingga jika ditemukan pemahaman agama atau implemenntasi agama yang bertentangan dengan Pancasila, maka dapat diduga bahwa keberagamaan tersebut adalah “keberagamaan yang menyusup” bahkan secara ilegal yang berpotensi menjadikan akan ada agama mencela agama yang dalam istilah Syari’ati “Agama Versus Agama”.
Penting disadari bahwa tidak ada satu agama pun yang masuk ke Nusantara dan menemukan ruang atau komunitas hampa keyakinan, nilai dan norma. Bahkan dalam konteks tertentu nilai-nilai eksisting telah begitu kuatnya sehingga tidak bisa saling menegasikan tetapi malah harus dikompromikan yang lebih akrab disebut dengan sinkritisasi.
Sebagian ahli menyebut bahwa Pancasila merupakan hasil dari dua tahapan kompromi yaitu: Pertama, kompromi antara setiap agama dengan kepercayaan dan budaya lokal. Kedua, kompromi antara ajaran suatu agama dengan agama lainnya. Berdasarkan pandangan inilah kemudian lahir konsep moderasi beragama.
Istilah ‘moderasi beragama’ ini telah menggambarkan bagaimana merumuskan harmonisasi dalam hubungan agama dengan Pancasila. Sebab, istilah ‘moderasi’ memiliki hubungan erat dengan istilah ‘modern’– yang berkonotasi peng-akomodasian sebagian prinsip sains modern yakni ‘logic, elastis dan terbuka’.
Mungkin, bagi sebagian orang ada kesan terjadinya “degradasi, reduksi atau penyederhanaan substansi pada istilah ini, sehingga muncul pendapat bahwa “Memoderasi” dalam konteks relasi agama dengan Pancasila dapat berarti mengurangi atau mengabaikan beberapa hal yang bisa jadi sangat prinsip demi kebersamaan dengan cara menaikkan setiap ajaran hingga ke dimensi esoteris hingga terdapat titik temu atas berbagai kergaman dan perbedaan.
Atas dasar ini lah, maka Pancasila mengedepankan istilah “GOTONG ROYONG” —yang dalam konteks keberagamaan disebut ‘gotong royong beragama’. Gotong Royong memiliki makna membangun kebersamaan, tolong menolong, bahu membahu dan sayang menyayangi. Tidak ada orientasi penyederhanaan dalam konteks ini, tetapi justeru penambahan atau penyempurnaan.
Dalam perspektif Pancasila, setiap agama diarahkan untuk menyelami dimensi terdalam, paling substantif atau paling sempurna dari ajarannya. Pada saat dimensi terdalam atau dalam istilah studi agama-agama disebut dimensi esoteris setiap agama telah ditemukan, dipahami dan disadari— maka semua agama dapat menemukan bahwa pada dimensi tanpa batas itu atau pada dimensi sakral itu tidak ditemukan batas-batas seperti yang menyejarah di alam empiris.
Menyelami, memahami dan menyadari dimensi terdalam itu akan membuat orang mencintai perbedaan dan keragaman. Sebab, ada kesadaran bahwa perbedaan dan keragaman yang tampak pada satu sisi, sesungguhnya telah merupakan wujud dari kecintaan, perjuangan dan komitmen untuk bersatu pada dimensi yang lebih hakiki pada sisi yang lainnya.
Keragaman dan perbedaan hanya lahir dari proses aktualisasi ajaran dalam sejarah kehidupan manusia, di ranah sejarah empiris yang memang sarat dengan keragaman-keragaman itu. Setiap orang akan ber-amal berdasarkan puncak ijtihadnya atau puncak pencariannya atas tafsir terbaik agamanya. Sehingga kalaupun tetap harus berbeda kembalilah kepada aspek esoterisnya agar perbedaan itu benar-benar terasa indah.
Jika perbedaan itu bersifat parsial atau pejoratif, maka tidak perlu ada penyederhanaan atau pengurangan untuk dapat dilebeli moderat. Malah sebaliknya, perlu penguatan dan pelestarian secara dinamis mengikuti laju dialektika peradaban manusia.
Seseorang tidak perlu risau, alergi apalagi harus membenci dan memusuhi selainnya hanya karena perbedaan dalam aktualisasi ajaran agamanya yang sejatinya merupakan tafsir terbaik yang dimilikinya. Apalagi harus memanipulasi ajaran agama untuk membesar-besarkan perbedaan itu sebagai ancaman bagi eksistensi agama atau faham yang dianut. Inilah yang mau disebut sebagai gotong-royong beragama dalam Pancasila.*
Penulis adalah Ketua Umum DPP GERAKAN DA’I KERUKUNAN & KEBANGSAAN (GDKK) & Sekretaris Jurusan Prodi Magister Pemikiran Politik Islam UINSU
- Ahmad Zarnawi Dilaporkan ke Bawaslu Padanglawas Terkait Surat Perjanjian dengan Masyarakat - Oktober 4, 2024
- Kejari Binjai Musnahkan Barang Bukti Kejahatan Pidana Umum dari 122 Perkara - Oktober 4, 2024
- Blok Sumut Ungkap SK Aulia Rahman Sebagai Pj. Walikota Medan Tidak Diteken Pejabat Kemendagri - Oktober 4, 2024