
Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA
SATU lagi partai politik peserta Pemilu 2024 lolos dari “perangkap” administrasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Partai berlambang bintang kuning tua ini, resmi ikut pemilu untuk selanjutnya berkompetisi bersama 17 partai politik lain pada pemilihan umum 2024. KPU menerima protes Partai Ummat setelah sebelumnya KPU mencoret partai besukan Amien Rais ini dari calon daftar peserta Pemilu 2024.
Kehadiran Partai Ummat nyata menjadi “sandungan” partai pesaing Partai Ummat. Hadirnya partai ini justru menjadi ancaman besar partai-partai pemilih berbasis massa Islam. Mohon maaf, jika saya menyebut bakal menggerus pemilih PAN, PPP dan PKS sebagian kecil. Pemilih partai politik ini bermigrasi ke Partai Ummat. Hingga ada sebutan “selamat tinggal” PAN, selamat tinggal partai koalisi pemerintah. Partai Ummat menjadi partai alternatif pemilih yang menginginkan adanya perubahan. Ancaman lainnya, adalah pemilih PAN bakal hijrah ke Partai Ummat. Kendati angka-angka survei belum membuktikan ke arah itu, apakah sebagian pemilih PAN hijrah ke Partai Ummat atau tidak, namun di tingkat grass root potensi hijrahnya pemilih PAN mulai nampak.
Fakta yang terjadi, kecenderungan pemilih Muhammadiyah dari pemilu ke pemilu, menjatuhkan pilihan politiknya ke PAN. Partai yang lahir dan “dibidani” kader Muhamamdiyah ini dinggap sebagai partai yang dapat membawa aspirasi politik Muhammadiyah. Tapi kepercayaan politik pemilih Muhammadiyah ini, lambat laun semakin mengecil kepada PAN, terlebih sebagian besar di banyak daerah pengurus dan anggota lagislatif dari PAN bukan kader Muhammadiyah. Klaim ini pun semakin kabur terhadap kepercayaan pemilih Muhammadiyah ke PAN. Pemilu ke pemilu, pemilih Muhammadiyah tetap saja di-klaim ke PAN, meski tidak sepenuhnya memilih PAN. Sebagian pemilih Muhammadiyah justru banyak yang percaya kepada PKS, PPP dan PBB yang akhirnya menetapkan pilihannya ke partai berbasis massa Islam itu.
Lantas bagaimana tantangan Partai Ummat pasca ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024? Pertama, tantangan grass root. Pemilih akar rumput partai ini tidak dapat dipisahkan dengan pemilih Muhammadiyah. Pemilih Muhammadiyah dipastikan bakal terbelah, sebagian tetap bertengger di PAN dan sebagian lagi berkhidmad ke Partai Ummat. Tidak dapat kita nafikan bahwa pemilih Muhammadiyah ini tidak tertutup kemungkinan memilih partai politik selain PAN dan Partai Ummat. Kecenderungan ini mulai nampak, ketika kader-kader Muhammadiyah yang sebelumnya berkhdmat di PAN, kini hijrah ke banyak partai seperti Nasional Demokrat (Nasdem), PKS, Partai Demokrat dan lainnya.
Kedua, tantangan elektabilitas. Tantangan terberat Partai Ummat setelah terdaftar dalam peserta Pemilu 2024, adalah tantangn elektabililitas. Serapan dan sebaran pemilihnya tidak berada dalam satu kiblat politik saja, yakni pemilih Muhammadiyah. Jika aspek ini yang dihandalkan, sangat dimungkinkan Partai Ummat tidak akan lolos dalam Pemilu 2024, apalagi syarat mutlak dalam parleamentary threshold atau angka ambang batas suara partai politik untuk duduk di parlemen adalah 4 persen. Angka ini menjadi harga mati untuk berjuang di parlemen. Berbeda dengan partai politik lainnya, Partai Ummat sangat potensial menarik pemilih Muhammadiyah, pemilih PKS, pemilih PPP. Bahkan, potensi bergabungnya pemilih yang berasal dari Islam salafi, Islam moderat dan Islam nasioalis ke Partai Ummat, potensi ini sangat kuat. Indikasi ini sangat jelas, ketika visi dan misi Partai Ummat ditampilkan dalam website partai politik yang didirikan Amien Rais ini yakni membawa tagline “menegakkan keadilan dan membasmi kezhaliman”.
Tantangan ketiga, adalah tantangan perlawanan kepada pemerintah. Partai Ummat menjadi partai yang berani melawan pemerintah. Bahkan satu-satunya partai yang berani menunjukkan “taringnya” melawan pemerintah yang sah. Hampir semua kebijakan pemerintah dikritisi habis. Pendiri partai ini tak segan-segan meminta Presiden Joko Widodo mundur dari jabatannya, karena tidak mampu menjalankan pemerintahan. Satu sisi, memang magnet politik Amien Rais sebagai nakhoda utama partai ini masih kuat. Saat partai ini masih mengambil simpati kepada rakyat Indonesia, di tengah itu pula partai ini mengkritisi kebijakan pemerintah. Inilah bukti, bahwa partai ini menampilkan visi dan misi sebelum berkompetisi dalam arena politik yang sebenarnya pada Pemilu 2024 mendatang. Polemik tidak lolosnya Partai Ummat tanggal 14 Desember 2022 lalu, adalah bias politik. Tapi, akhirnya partai ini pun lolos akibat pertimbangan politik dari penyelenggara pemilu.
Setelah Partai Ummat menjadi peserta Pemilu 2024, apa sebenarnya harapan pemilihnya. Tidak bermaksud mengabaikan pendapat konsituen lainnya, Partai Ummat menjadi partai tumpuan ummat Islam saat ini. Jika variablenya pemilih ummat Islam, maka hampir dipastikan Partai Ummat bakal lolos parlemantary threshold 4 persen. Ketakutan dan kekhawatiran partai politik lain yang seirama dengan Partai Ummat, secara tidak langsung pemilihnya akan hijrah ke Partai Ummat. Sekat ideologi berbasis doktrin Islam yang melekat di kalangan pemilih ummat Islam di Indonesia sungguh tidak terlepaskan dari ideologi itu, sebagian besar pemilih Islam akan memilih Partai Ummat pada Pemilu 2024 nanti.
Upaya komunikasi politik Partai Ummat dalam meningkatkan elektabilitas pemilih sampai Pemilu 2024, hemat penulis adalah, pertama, bersilaturrahim dengan tokoh-tokoh agama. Kekuatan tokoh agama, menjadi simpul utama dan tumpuan utama partai ini jika ingin menambah lumbung suara untuk memenangkan Pemilu 2024. Kedua, menguatkan simpul Ormas berbasis keagamaan. Selain ormas Muhammadiyah yang diklaim sebagai basis utamanya, Partai Ummat juga harus melebarkan sayap politiknya ke ormas lain bahkan di luar Islam. Partai Ummat jangan menunjukkan sikap politiknya pada pembelaan kepada ummat Islam ansih, tetapi lebih dari itu Partai Ummat harus membuka kran politiknya kepada pemilih di luar Islam, sehingga Partai Ummat tidak terlihat partai politik eksklusif (tertutup) di mata pemilih. Melalui modal inilah elektabilitas Partai Ummat lewat dari jeratan parlementary thresholad untuk masuk ke parlemen. **
** Penulis adalah analisis Komunikasi Politik UIN Sumatera Utara, Medan dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) di Medan.