Oleh Prof Dr Syahrin Harahap MA
Kedatangan Menteri Agama RI Fachrul Razi dalam Kunjungan Kerja ke Sumatera Utara, kali ini dirasakan membawa makna yang sangat strategis, di saat bangsa Indonesia berada dalam transisi yang bukan tanggung-tanggung, terutama berkaitan dengan kemestian bagi kita untuk menerjemahkan dan mengaplikasi agama sebagai pedoman nilai dalam transisi yang diakibatkan oleh revolusi teknologi, khususnya 4.0 yang sangat fenomenal dan merambah ke setiap sisi kehidupan umat manusia, tak terkecuali bangsa Indonesia.
Arahan, atau lebih tepat disebut sebagai pemikiran, Menteri Agama ini sangat saya nikmati, dan saya yakin juga oleh mayoritas akademisi yang hadir di UIN Sumatera Utara tanggal 4 Januari 2020, karena dapat disebut sebagai ‘Pemikiran Keberagamaan Menteri Agama yang Sangat Sosiologis’. Memang, kekurangan PTKIN selama ini pada umumnya adalah kurangnya kemampuan menghubungkan semua yang dipelajari dan dikembangkannya dengan konteks sosiologis, tepatnya, kondisi kekinian.
Meski sejak 3 dekade belakangan telah dicoba mengatasinya dengan memasukkan kajian dan analisis sosiologis dalam studi agama di Indonesia. Prof. Harsya W. Bachtiar (Allah yarham), Parsudi Suparlan (Allah yarham), Jujun S. Surya Sumantri, menjadi pioneer mentransmisi perspektif sosiologis itu ke dalam kajian keagamaan di Indonesia, namun hasilnya belum sepenuhnya memuaskan karena banyaknya faktor yang mempengaruhinya.
Perspektif Sosiologis
Hampir tak terduga sebelumnya bahwa Pak Fachrul Razy, dengan latar belakang militer, memiliki ketangkasam dalam menerapkan analisis sosiologis pada sejumlah problema umat yang kini sedang menghadang. Saya dapat memahami bahwa UINSU menghidangkan tema pembicaraan setelah lebih dahulu mengamati tema sentral pembicaraan Menag sejak dilantik, dan bacaan seperti itu memang salah satu kepiawaian Prof. Saidurrahman, Rektor UINSU.
Namun strategi Pak JenderL ternyata amat canggih. Ia tidak mau diarahkan berbicara tentang konsep dan akademik, melainkan mengayun pembicaraan dengan pisau analisis sosiologis. Tampaknya memang itulah salah satu keunggulan pemimpin senior, dapat membaca, bukan saja yang tersurat tapi naik ke ufuk, membaca yang tersirat, pesan nilai (value) yang dikandungnya.
Pisau Analisis Sosiologis
Pak Menteri membicarakan satu per satu kalimat yang ada dalam tema pertemuan dengan sangat meyakinkan. Kurang lebih beliau mengatakan. Pertama, Ekonomi Islam. Ekonmi Islam itu bagus, sangat bagus”, kata beliau. Akan tetapi, sistem yang bagus bila ditrapkan tidak dengan/ oleh mereka yang ikhlas dan profesional, maka hasilnya sering mengecewakan. Lihatlah bank-bank yang berlabel Islam yang kini ‘bertarung’ melawan kebangkrutan. “Memang sering kebaikan Islam tertutupi oleh umatnya.” Sosiologis bukan?…
Kedua, deradikalisasi Mungkin karena konsep ini telah terlanjur dibawa ke ranah konsepsional dan normatif, Pak Menteri mencoba menganalisisnya dari perspektif sosiologis. Menurutnya, “kita jangan sampai terlambat melakukan deradikalisasi.” Sembari mengutip strategi yang dibuat Uni Emirat Arab dalam mencegah radikalisme secara ketat. Negeri itu melakukannya, menurut beliau karena negeri itu terlambat dalam melakukan deradikalisasi. “Tentu Indonesia tidak akan menirunya. “Perspektif sosiologis ini menurut hemat saya merupakan way out kerumitan masalah pencegahan radikalisme di tanah air.
Ketiga, Moderasi Beragama. Menag mengatakan bahwa kita seringkali melihat persoalan moderasi secara normatif, seakan agama yang akan dimoderasikan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa “yang dimoderasikan bukan agama. Sebab agama memang telah moderat. Yang dimoderasikan adalah keberagamaan ( beragama), cara kita beragama. Oleh karenanya, kita harus terus melakukan moderasi cara beragama kita. Lagi-lagi sosiologis, karena beliau mengambil contoh pembangunan perkretaapian super canggih di Saudi dengan dibiayai oleh China. Memang, kata beliau, “kita jangan membuat agama ini memusuhi dan dimusuhi oleh yang bukan penganutnya, sebab mereka bisa lari dari sekeliling kita” tambah beliau.
Terima kasih Pak Menteri
‘Alâ kulli hâl, Kementerian Agama layak bangga dengan Menterinya yang sosiologis ini. Sebab, bila Islam dibaca dan ditrapkan secara sosiologis, maka agama ini akan semakin nyata sebagai rahmat bagi semua. (Rahmatan Lil’âlamîn).
Dilihat secara demikian maka hal-hal yang debatable di sekitar pemikiran dan statement Menteri terjadi bukan karena substansi pemikiran tapi karena kurangnya terjemah dan tafsir sosiologis atas pemikiran dan statement beliau. Begitulah, tampaknya amat diperlukan kemampuan menerjemah dan mengimplementasikan pemikiran Menteri Agama, dan PTKIN sepatutnya melaksanakan amanah itu.
Selamat bertugas Pak Menteri. Semoga selalu dituntun Allah Swt. Amîn…
** Penulis adalah Guru Besar UIN Sumatera Utara
9,232 total views, 2 views today
Komentar Anda