Radikalisme Masuk Kampus ?

Dr Anang Anas Azhar MA (kanan) saat menerima sertifikat sebagai pembentang di Kampus UOSI-Malaysia, awal tahun 2020 lalu. (foto/msj)
Dr Anang Anas Azhar MA (kanan) saat menerima sertifikat sebagai pembentang di Kampus UPSI-Malaysia, awal tahun 2020 lalu. (foto/msj)

Oleh : Dr Anang Anas Azhar MA

Dalam tema-tema politik agama, ada dua hal yang sering diidentikkan dengan kekerasan. Ia cenderung bersentuhan bahkan dibenturkan kepada aspek agama. Pertama, radikalisme. Kedua, deradikalisasi. Kedua istilah ini, belakangan menjadi trend yang diperdebatkan pada ranah akademik dan doktrin sebuah kelompok garis keras. Dua istilah ini kemudian, menyeret nama kampus sebagai asal-usul munculnya radikalisme.

Bacaan Lainnya

Radikalisme dalam term terminologi diartikan sebagai manifestasi atas penolakan terhadap proses modernisasi. Model ini, sangat mudah dilakukan dengan cara kekerasan. Kekerasan yang muncul datangnya bukan dari kampus yang selama ini dituduhkan, bahwa kampus menjadi sarang radikalisme. Sementara, deradikalisasi, secara sederhana diartikan sebagai pemutus de-ideologisasi. Model seperti ini, dapat dilakukan dengan cara keluarnya seseorang dari kelompoknya. Pemahamanan deradikalisasi merupakan kebalikan dari radikalisme.

Tanpa bermaksud menyinggung mazhab atau kelompok manapun, tulisan ini hanya ingin mencerahkan kita saja, atas semua tuduhan yang selama ini diarahkan ke kampus. Seolah-olah kampus menjadi sarang radikalisme yang memberikan ruang dan tempat atas tumbuh suburnya faham radikalisme. Kampus milik pemerintah atau swasta di negeri ini, acapkali dituduh sebagai sarang radikalisme yang kemudian memunculkan faham-faham sesat. Pernyataan ini harus kita tolak habis. Tuduhan atas faham radikalisme masuk kampus sama sekali tidak benar.

Fakta yang membantah itu. Pertama, dari sekian banyak program studi dan fakultas yang ada di kampus-kampus, tak satupun mata kuliahnya secara khusus mengajarkan radikalisme. Begitupun, pemahaman radikalisme tetap diberikan kepada mahasiswa untuk tidak melek terhadap faham radikalisme. Kedua, radikalisme dipastikan berasal dari luar kampus. Mahasiswa tentu tidak sepenuhnya belajar di kampus, mahasiswa juga dapat belajar di luar kampus sebagai tempat untuk menimba ilmu. Nah, belajar di luar kampus, tentu tidak ada pengawasan langsung dari kampus seperti aturan kampus yang mengatur mahasiswa ketika di luar jam kuliah.

BACA JUGA :  Gedung Megah UINSU di Tuntungan, Bukti PTKIN Anti Radikalisme

Tak dapat kita nafikan pula, bisa jadi mahasiswa mengikuti kelompok-kelompok diskusi atau organisasi di luar kampus. Tanpa sengaja pula, mereka disusupi doktrin tertentu untuk mengisi pikiran-pikiranya, kemudian tanpa disadari pikirannya diwarnai hal aneh yang kemudian dibawa ke kampus.

Pengaruh luar sangat kuat, ketika mahasiswa mengaktifkan dirinya belajar di luar kampus. Tulisan ini menegaskan bahwa mahasiswa tak pernah didoktrin untuk ikut faham radikalisme di kampus. Jalur masuknya faham radikalisme ke kampus berasal dari luar kampus, kemudian dibawa mahasiswa ke dalam kampus. Tidak heran pula, andai kita banyak menemukan oknum mahasiswa ikut terlibat dalam faham radikalisme ini.

Masih segar dalam ingatan kita, beberapa hari lalu, kita dihebohkan atas diskusi bertajuk “Jejak Pelacur Arab dalam Seni Membaca Alquran” yang digelar Fakultas Ilmu Sosial UIN Sumut. Akhirnya diskusi itu menjadi viral di media sosial, surat kabar bahkan media online. Perspektif akademik, tentu kegiatan ilmiah seperti itu tidak perlu kita persoalkan. Kajiannya pada ranah akademik wajar didiskusi. Tetapi menurut saya, ranah akademik jugalah yang menuntaskan kajian itu agar kampus tidak disebut sarang munculnya radikalisme.

BACA JUGA :  Atasi Meluasnya Paham Radikal, Penceramah Agama Harus Disertifikasi

Ketepatan saya berada di dalam diskusi itu. Diskusi itu justru dimanfaatkan orang di luar kampus yang ingin mempolitisasi suasana dari adem menjadi riuh. Orang tak bertanggunjawab secara sengaja meng-apload foto-foto yang bertuliskan kritik, yang akhirnya menjadi polemik tidak berkesudahan. Civitas akademika UINSU pun menyampaikan permohonan maaf kepada public saat itu, dan ini membuktikan bahwa betapa lembaga ini sangat berhati-hati atas masuknya faham radikalisme ke kampus.

Tulisan singkat ini, hanyalah sekelumit pandangan untuk meluruskan bahwa kampus bebas faham radikalisme. Andaipun ada faham radikalisme seperti dituduhkan orang, bukan dari materi kuliahnya, tetapi asalnya dari oknum mahasiswa, karena ikut pengajian dan pengkajian khusus. Kemudian, tanpa sadar membawa doktrin yang ia dipelajari ke kampus untuk merekrut anggotanya. Kita tentu beharap, kampus kita UINSU bebas dari faham radikalisme. **

 

** Penulis adalah Dosen Komunikasi Politk di Fakultas Ilmu Sosal UINSU dan FISIP UMSU Medan **

 

 

 

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *